Jakarta, Aktual.com – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengendus adanya banyak kepentingan yang bermain dalam menentukan pendataan data pangan, terutama soal perberasan. Akhirnya data yang diperoleh pun data yang tidak valid dan kredibel.

Hal ini menyebabkan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah juga salah kaprah. Terutama kebijakan impor. Pasalnya, data ini akan digunakan pemerintah dalam menentukan kebijakan impor.

“Banyak conflict of interest (konflik kepentingan) dalam melakukan pendataan. Sehingga data yang dihasilkan pun tidak kredibel,” ujar Anggota IV BPK Rizal Djalil di Jakarta, Selasa (21/6).

Kondisi ini ditemukan BPK setelah lembaga pemeriksa negara ini melakukan pemeriksaan terkait kebijakan sektor pangan, terutama soal perberasan.

Konflik-konflik kepentingan yang dimaksud BPK itu, kata dia, biasa dilakukan oleh Kepala Cabang Dinas (KCD) Pertanian di daerah. Gara-gara terbebani target produktivitas beras, mereka melakukan konflik kepentingan di lapangan.

“Para KCD itu biasanya terbebani oleh target produksi padi. Kondisi itu yang menyebabkan adanya potensi conflict of interest,” ujar Rizal.

Mereka itu para KCD tersebut, lanjut Rizal, ditargetkan harus menghasilkan produktivitas beras di angka tertentu, dan mereka diminta untuk mengukur luas area pertanian.

“Tapi malah ada konflik kepentingan di lapangan,” tandas dia lagi.

Kelemahan yang paling mendasar, lanjut Rizal, dari hasil audit terhadap KCD di beberapa wilayah, ditemukan metode pengumpulan data yang tidak layak karena hanya berdasarkan perkiraan melalui pandangan mat (eye estimate).

Proses audit yang dilakukan BPK ini, kata dia, melalui wawancara dengan KCD, juga dengan koordinator statistik kecamatan.

“Ditemukan bahwa metodologi pengumpulan data luas area padi itu menggunakan eye estimate, yang dilakukan oleh KCD,” papar dia.

Lebih lanjut Rizal menegaskan, sumber daya manusia (SDM) di KCD juga yang kebanyakan tidak kompeten menjadi masalah selanjutnya. Hal ini terjadi karena dalam proses rekrutmen tidak ada melalui kompetensi yang kuat.

Terlebih SDM di KCD itu tidak pernah mendapatkan pelatihan dalam hal mendata produktivitas lahan padi.

“Sehingga yang ada ketika mereka melakukan survey data pertanian, metode yang digunakan masih eye estimate. Padahal di negara lain menggunakan teknologi,” beber dia.

Di tempat yang sama, Menteri Perdagangan Thomas Lembong malah menegaskan pemerintah segera mengalami swasembada beras. Menurutnya, berdasarkan data tahun lalu, Indonesia melakukan impor sebesar 1,5 juta ton. Angka tersebut masih sekitar 5 persen dari total kebutuhan nasional yang mencapai 30 juta ton.

“Jadi sebetulnya impor beras kita itu kecil sekali. Kalau hanya 5 persen berarti sebenarnya kita sudah 95 persen swasembada beras,” klaim dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka