Samarinda, Aktual.com – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Mahyudin mengatakan perlunya evaluasi pemilihan umum (pemilu) langsung untuk memperbaiki kinerja demokrasi.
“Yang perlu dievaluasi itu efektifitas dari pelaksanaan pemilu, kedua efisiensi anggaran, ketiga konflik horizontal yang mungkin terjadi akibat ekses-ekses pemilu langsung,” kata Mahyudin saat sosialisasi empat pilar di Samarinda, Selasa (4/12).
Mahyudin mengatakan evaluasi dapat dilakukan terhadap pemilihan langsung pilkada provinisi, kabupaten dan kota,DPRD, DPR bahkan pemilihan presiden.
“Evaluasi itu bukan mesti diubah, apakah sistem pemilihan langsung ini yang paling tepat, apakah musti diperbaiki?,” katanya.
Menurut dia, melalui evaluasi diketahui kekurangannya sehingga dapat diperbaiki. Bila memang sistem tersebut belum tepat untuk masyarakat saat ini, maka bisa juga hal itu diganti menjadi sistem perwakilan.
Misalnya di tingkat provinsi tetap menggunakan pemilihan langsung sedangkan di kabupaten dan kota digelar pemilihan oleh DPRD.
Selain itu misalnya pada pemilihan presiden perlinya evaluasi terkait dengan dana saksi. Dengan 800 ribu tempat pemungutan suara (TPS), maka dibutuhkan dana yang sangat besar untuk membiayai saksi.
Bila satu TPS membutuhkan Rp200 ribu untuk dana saksi maka dengan 800 ribu lebih TPS pada pemilu 2019 berarti membutuhkan Rp160 miliar. Hal ini tentu sangat memberatkan para calon kalau dibiayai sendiri.
Akibatnya para calon akan mengumpulkan dana dari berbagai sumber, dan hal ini rentan dengan barter terhadap kebijakan pemerintah kelak.
Menurut dia, saat ini masyarakat belum siap 100 persen dengan pemilihan langsung. Hal ini terlihat dengan maraknya politik uang dalam pemilihan.
Mahyudin mengatakan, pimpinan korup biasanya terlahir dari masyarakat yang korup. Masyarakat yang membuka diri untuk mau disuap akan menghasilkan pemimpin yang mudah disuap pula.
Akibat politik uang, maka banyak para pejabat negara yang dulu menyuap rakyat agar terpilih, mau menerima suap. Maka tidak heran bila kemudian pejabat negara dari tingkat daerah hingga tingkat pusat ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ant.
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan