Jakarta, Aktual.com — Dewan Energi Nasional menilai pengembangan energi baru dan terbarukan memerlukan dukungan kebijakan subsidi dari negara.

“Mau tidak mau, subsidi negara harus ada. Tanpa subsidi, pengembangan EBT (energi baru dan terbarukan) bakal tidak jalan,” kata Anggota DEN Abadi Poernomo saat jumpa pers hasil Bali Energy Forum di Nusa Dua, Badung, Bali, Jumat (20/11).

Kebijakan pemberian subsidi EBT tersebut, lanjutnya, akan masuk dalam rencana umum energi nasional (RUEN) yang tengah disusun DEN.

Menurut Abadi, saat ini, harga keekonomian untuk pembangkit listrik EBT jauh lebih tinggi dari harga beli PT PLN (Persero).

Ia mencontohkan harga listrik dari panas bumi mencapai 13 sen dolar AS per kWh, sementara PLN hanya mampu membeli pada harga di bawah 10 sen dolar AS per kWh.

“Nah, selisih tiga sen dolar AS per kWh itulah yang disubsidi negara,” katanya.

Demikian pula, untuk pengembangan EBT lainnya seperti surya yang memiliki harga keekonomian hingga 20 sen dolar per kWh dan mini/mikro hidro di atas 12 sen dolar per kWh.

Abadi menambahkan, pengelolaan subsidi EBT tersebut sebaiknya dipisahkan dari manajemen PLN.

“Alternatifnya, bisa membentuk badan layanan umum (BLU) atau anak perusahaan PLN yang khusus mengelola subsidi EBT,” katanya.

Ia juga mengatakan, perlu sejumlah terobosan untuk pengembangan panas bumi.

Di antaranya, penetapan pemenang lelang panas bumi tidak lagi berdasarkan harga terendah, namun program terbaik yang ditawarkan investor.

“Skemanya bisa seperti penawaran blok migas. Jadi, dilihat program apa yang disiapkan investor dan berapa nilainya,” katanya.

Menurut dia, penetapan pemenang berdasarkan harga terbukti banyak menghadapi kendala seperti cadangan panas bumi yang tidak sesuai perkiraan.

“Saat pemasukan penawaran harga lelang, cadangan panas bumi diperkirakan 400 MW. Namun, setelah dibor, ternyata cuma 50 MW, sehingga harga tidak masuk dan proyek tidak jalan,” ujarnya.

Terobosan penetapan pemenang lelang tersebut sudah masuk dalam rancangan peraturan pemerintah yang kini tengah disusun Kementerian ESDM.

Upaya lain yang diperlukan adalah penugasan kepada PLN untuk membeli harga listrik panas bumi sesuai yang ditetapkan (feed in tariff/FIT), pemberian pinjaman murah berjangka panjang, dan insentif untuk mengembangkan EBT.

Abadi menambahkan, terobosan-terobosan tersebut diperlukan untuk mencapai target bauran energi dari EBT sebesar 23 persen pada 2025 atau meningkat 17-18 persen dari posisi saat ini yang hanya 5-6 persen.

“Target EBT ini berat, sehingga perlu terobosan-terobosan,” ujarnya.

Sementara itu, Anggota DEN lainnya Andang Bachtiar mengatakan, hasil Bali Energy Forum akan menjadi masukan DEN untuk penyusunan RUEN.

“Kami sedang susun RUEN yang ditargetkan 1-2 bulan ini akan ditetapkan. Hasil forum ini akan menjadi masukan RUEN, apa prioritas pengambangan EBT, apakah matahari atau panas bumi,” katanya.

Sedang, Anggota DEN Tumiran mengatakan, Bali Energy Forum juga menyoroti tingkat pertumbuhan kebutuhan energi dunia yang saat ini didominasi negara non-Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Cooperation and Development/OECD).

Menurut dia, kebutuhan energi negara-negara OECD telah stagnan dan kini mengarah ke EBT.

“Negara OECD ini didukung masyarakatnya yang sudah mampu membayar harga energi sesuai nilai keekonomiannya,” katanya.

Sementara, lanjutnya, bagi negara non-OECD, pemilihan jenis EBT harus selektif mengingat harganya yang masih tinggi, sehingga membutuhkan kebijakan FIT dan insentif lain.

“Kesalahan pemilihan jenis EBT yang berharga mahal, akan menjadi beban bagi negara berpenduduk besar seperti Indonesia,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan