“Sejarah akan lebih mudah diingat dan menyentuh hati jika ia disampaikan lewat kisah-kisah. Maka yang akan muncul di sana tidak hanya data mengenai tokoh, tempat, dan peristiwa, tapi juga drama, gejolak-gejolak emosi. Karena itulah, saya memilih menggali sejarah di era kemerdekaan dan menyampaikannya dalam bentuk puisi esai.”
“Ini cara bertutur yang menggabungkan fakta yang terjadi dalam sejarah, tapi ditambahkan fiksi, dibuat drama tambahan. Ramuan itu membuat kisah sejarah atau true story lebih menyentuh hati dan lebih mudah diingat.”
Demikian dikatakan Denny J.A, mengantar buku puisi esainya yang keenam: Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (Juni, 2024).
Denny menggali kisah-kisah di balik peristiwa kemerdekaan tahun 1945, lebih kepada sisi gelapnya. Mulai dari kisah puluhan ribu gadis pribumi yang dipaksa untuk menjadi gadis penghibur bagi tentara Jepang.
Juga ada kisah mengenai Romusha, yaitu para pemuda Indonesia umumnya, yang dibujuk untuk menjadi tenaga yang bekerja secara paksa, yang nyaris sama seperti budak.
Mereka begitu menderita karena kurangnya fasilitas yang diberikan. Banyak dari mereka banyak juga yang kemudian mati secara merana.
Juga kisah mengenai para gadis pribumi yang menjadi pembantu rumah tangga, sekaligus juga menjadi gundik atau istri yang tak dinikahi bagi tuan-tuan Belanda.
Denny JA sendiri menyelami dilema moral yang dihadapi Bung Karno saat itu sebagai seorang pemimpin di era kemerdekaan.
Ia paham, pastilah Bung Karno sangat ingin sekali Indonesia merdeka. Tapi apa daya saat itu Jepang yang berkuasa. Jepang baru saja mengalahkan Belanda.
Bung Karno punya pilihan bekerja sama dengan Jepang melawan tentara sekutu. Bung Karno meyakini Jepang nantinya membantu Indonesia untuk menang.
Karena harapan itu, Bung Karno membantu Jepang mendapatkan tenaga kerja Indonesia yang banyak bagi aneka programnya. Salah satunya adalah program untuk memobilisasi tenaga kerja.
Bung Karno mengakui sendiri ia ikut memobilisasi pemuda-pemuda Indonesia untuk mau bekerja sebagai romusha. Ia berfoto untuk itu. Bung Karno juga berkampanye untuk itu.
Bung Karno tidak menyangka bahwa ternyata pemuda-pemuda yang bekerja bagi Jepang itu menderita yang sangat menyedihkan.
Banyak dari mereka misalnya yang dikirim bertumpuk-tumpuk di kereta api, yang pengap dan mati di kereta api sana. Mayatnya pun dibuang di jalan.
Banyak dari mereka juga yang dikirim ke luar negeri naik kapal laut tanpa makanan yang cukup, tanpa fasilitas kesehatan yang cukup. Banyak pula yang mati di kapal dan mayatnya pun dibuang di laut.
Sementara banyak pula yang bekerja di luar negeri ataupun bekerja di luar Jawa sana. Mereka mati tersiksq. Atau badan mereka kurus kering, tinggal tulang belulang saja diselimuti hanya oleh kulit.
Foto-foto dari mereka yang bekerja di romusha ini pun masih bisa kita lihat di Google. Bung Karno mengakui betapa ia sangat sedih. Ia tidak menyangka dan menyesal dengan kondisi rakyat Indonesia yang sempat ia sendiri mobilisasi.
Tapi ini tidak hanya sekedar soal romusha, Denny J.A. juga menggali kisah-kisah gadis muda Indonesia. Mereka sebagian besar tertipu dijadikan gadis penghibur tentara Jepang.
Mulai dari kisah Mardiem misalnya, yang saat itu usianya 13 tahun. Ia dibujuk untuk bekerja di Kalimantan menjadi penyanyi di sana. Menjadi penyanyi itu adalah idaman Mardiem sejak lama.
Namun Mardiyem kaget sekali ketika sampai di Kalimantan. Ia dimasukkan di kamar yang kecil. Ia dipaksa melayani tentara Jepang. Ia diperkosa katanya sehari kadang-kadang sampai 10 dan sampai 15 tentara Jepang.
Ia alami ini bertahun-tahun. Itu dialami juga tidak hanya oleh Mardiem tapi oleh ribuan gadis pribumi Indonesia lainnya.
Sebelum Jepang pun banyak gadis pribumi yang juga mengalami hal serupa. Tapi yang ini terjadi di rumah-rumah tuan Belanda.
Umumnya para lelaki Belanda ketika datang ke Indonesia, menjajah Indonesia, mereka tidak membawa istrinya. Mereka menjadikan banyak gadis pribumi sebagai pembantunya.
Namun dalam perjalanan, pembantunya ini pun dijadikan sebagai gundiknya, sebagai sejenis istri tapi tidak dinikahi secara resmi. Mereka dijadikan nyai.
Para nyai ini beranak-pinak. Tapi sekali lagi sang istri yang tidak dinikahi ini atau disebut nyai atau gundik ini, tidak punya hak atas anak-anak yang dilahirkannya. Banyak dari anak anak mereka pun yang akhirnya diambil oleh tuan Belanda dan dibawa ke Belanda.
Ini kisah-kisah yang kelam di era kemerdekaan dan diangkat oleh Denny J.A. dalam puisi esainya.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano