Hari Raya Idul Adha menjadi ritual agama Islam yang identik dengan penyembelihan hewan kurban yang merujuk pada kisah Nabi Ibrahim yang mengurbankan anaknya, Ismail. Lalu, muncul pertanyaan apakah kurban hewan saat Idul Adha bisa diganti dengan kurban berupa uang atau lainnya?
Hal itu disampaikan Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena, Denny JA, merenungkan kisah Nabi Ibrahim di Hari Raya Idul Adha lewat empat tulisan yang mewakili empat sikap berbeda atas kurban hewan secara massal untuk ritual agama.
Pertama, pada 2020, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menyarankan bagi yang memiliki sumber daya terbatas, sebaiknya kurban hewan diganti dengan uang sedekah. Alasan yang digunakan adalah situasi ekonomi akibat Covid-19.
Sedekah uang itu dinilai lebih bermanfaat bagi penduduk luas yang serba kekurangan. Publik juga terhindar dari kerumunan jika bersama menyaksikan hewan yang menjadi kurban. Sebab, kerumunan berbahaya di era pandemi Covid-19.
“Ini sikap pertama: fleksibel. Untuk kondisi tertentu, hewan kurban dapat diganti uang sedekah. Tapi itu hanya untuk kondisi tertentu saja,” kata Denny JA dalam keterangannya, Kamis (29/6/2023).
Kedua, menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), kurban hewan tidak bisa diganti oleh uang atau barang lain dan tak ada perkecualian untuk prinsip ini. Seandainya pun ada isu Covid-19, penyembelihan hewan dapat diatur hanya dilakukan di area tertentu oleh lembaga atau tenaga profesional.
“Ini sikap kedua: tidak fleksibel. Kurban hewan, penyembelihan hewan tak bisa ditafsir lain,” ujar Denny JA.
Ketiga, kata Denny JA, esai dari Shahid ‘Ali Muttaqi yang berjudul An Islamic Perspective Against Animal Sacrifice yang menafsir ulang kisah Ibrahim. Menurut penulisnya, perintah Ibrahim untuk mengurbankan anak itu bukan instruksi Tuhan. Namun, perintah itu hanya penglihatan yang datang dari mimpi.
Menurut Denny JA, penulis itu mengedepankan human reason. Dalam Ten Commandment, Tuhan sudah menyatakan jangan membunuh. Maka, mustahil Tuhan meminta Ibrahim membunuh anaknya sendiri.
Penulisnya menyebut hal itu hanya mimpi Ibrahim karena mengira mimpi itu perintah Tuhan. Sebagai manusia yang tunduk pada Tuhan, loyalitas Ibrahim mengalahkan cinta pada anak.
Tapi kemudian, pembunuhan atas anak sendiri batal dan diganti dengan kurban hewan. Itulah awal dari tradisi turun-temurun kurban hewan untuk Tuhan.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano