“Biarkan tiga pandangan itu hidup. Bebaskan publik memilih yang mana yang mereka ingin ikuti,” ujarnya.

Denny JA menambahkan, untuk sikap keempat terkait pemotongan hewan di jalan atau di area publik yang tidak higienis apalagi tak dilakukan oleh profesional, pemerintah perlu melakukan penertiban. Alasan penertibannya bukan tafsir agama, namun semata untuk kepentingan kesehatan publik.

Dia mengungkapkan, pemerintah memang sebaiknya tidak usah ikut campur dalam perbedaan tafsir agama selama tak ada yang melanggar hukum kriminal.

Pasalnya, setelah Nabi wafat, yang tersisa hanya para penafsir yang sehebat apapun tingkat keulamaan, kependetaan, dan kecendikiaannya, mereka bukanlah Nabi. Sehingga, perbedaan tafsir tak bisa terhindarkan.

Denny JA menjelaskan, kisah Ibrahim bahkan terjadi perbedaan fakta keras. Awalnya, kisah tersebut tertulis dalam Torah dan Perjanjian lama, di mana mereka meyakini putra yang akan dikurbankan Ibrahim bernama Ishak.

Namun, Alquran datang 600 tahun kemudian. Melalui proses waktu, di kalangan Islam meyakini fakta yang berbeda bahwa yang dikurbankan bernama Ismail.

“Kini penganut dua agama terbesar, Kristen dan Islam, meyakini fakta yang berbeda untuk peristiwa yang sama. Ishak versus Ismail. Secara fakta, mustahil dua-duanya benar. Pastilah ada keyakinan yang salah di antara dua keyakinan besar itu. Jika tak Ishak, pasti Ismail. Tak mungkin dua-duanya benar,” terang Denny JA.

Namun, kata Denny JA, terlepas dari kisah manapun yang salah, kita menyaksikan bahwa keyakinan atas fakta yang salah itu bertahan ribuan tahun dan dipeluk oleh lebih dari satu miliar manusia.

Dua agama ini dibiarkan tumbuh dengan keyakinan fakta yang berbeda. Alasannya sederhana, agama itu soal keyakinan, bukan masalah fakta. Maka, tak heran hingga saat ini berkembang 4.300 agama yang semuanya tumbuh dengan keyakinannya masing masing.

“Jika perbedaan fakta saja dibiarkan, maka perbedaan tafsir soal kurban hewan atau uang sedekah sebaiknya juga dibiarkan pemerintah. Biarkan publik memilih percaya yang mana. Pada waktunya, tafsir yang lebih sesuai dengan semangat zaman, itu yang akan bertahan panjang. Ini sejenis survival of the fittest yang terjadi di dunia tafsir agama,” tutup Denny JA.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano