Festival Puisi Esai Jakarta II, akhir pekan kemarin di PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat. Aktual/DOK PRIBADI

Jakarta, aktual.com – Penggagas puisi esai, Denny JA mengatakan dia tidak menyangka puisi esai bisa menembus ASEAN. Bahkan sekarang puisi esai sudah tembus sampai ke Mesir dan Inggris. Hal ini menunjukkan bahwa puisi esai bisa diterima di mana saja.

Hal itu diungkapkan Denny JA di sela-sela acara di Festival Puisi Esai Jakarta II, akhir pekan kemarin di PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat.

Puisi esai goes international dimulai dari Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia, tahun 2016, atau empat tahun setelah buku puisi esai Atas Nama Cinta terbit. Denny JA menyatakan bahwa puisi esai sudah diterima meluas di Sabah, Malaysia. Bahkan di Sabah sudah lebih dulu ada festival puisi esai, mendahului tempat asal puisi esai, Indonesia.

Setelah Sabah, puisi esai lalu masuk ke Brunei Darussalam, Singapura, dan Thailand Selatan dalam waktu yang berdekatan.

Datuk Jasni Matlani menyatakan, genre sastra puisi esai kini sudah diterima secara meluas dan “goes international” serta menjadi bagian dari “high culture” yang berada di tempatnya yang terhormat.

Hal itu diungkapkan Datuk Jasni Matlani, Presiden Komunitas Puisi Esai ASEAN, yang menjadi pembicara di Festival Puisi Esai Jakarta II. Sesi diskusi yang bertema “Puisi Esai Goes International” itu menghadirkan narasumber Datuk Jasni Matlani, Fatin Hamama R. Syam, dan Monica JR, dengan moderator Sastri Bakry.

Datuk Jasni Matlani menyatakan, “Jika puisi esai yang high culture diadaptasi ke film, teater, dan sebagainya maka ia menjadi bagian dari pop culture, yang memanusiakan manusia.”

Datuk Jasni bercerita, dia sudah lama memikirkan bagaimana caranya agar produk sastra bisa kembali marak di masyarakat. Puisi esai, menurut Datuk Jasni, lebih mudah diterima masyarakat karena isinya adalah persoalan yang dihadapi masyarakat sehari-hari dan memiliki unsur kemanusiaan yang kental.

Namun, Datuk menekankan bukan berarti puisi esai diterima dengan mulus di Sabah. Banyak pula orang yang menolak kehadiran puisi esai di Sabah. Tetapi penolakan warga terhadap puisi esai tidak sekeras di Indonesia. Di Sabah orang menolak puisi esai lebih karena mereka tidak bisa menerima bagaimana sebuah esai bisa dipadukan dengan puisi. Bagi mereka itu mustahil dilakukan. Kalau puisi, ya, puisi. Esai, ya, esai. Penolakan hanya sebatas itu saja.

Ia berbesar hati bahwa pada 2024 ini puisi esai telah menjadi wahana sastra Melayu Nusantara di tingkat ASEAN dan global,

Datuk Jasni adalah sosok yang memprakarsai Festival Puisi Esai di Kota Kinabalu. Ia mengundang para sastrawan dan akademisi sastra dari Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, dan sebagainya. Ia juga yang memprakarsai Lomba Menulis Puisi Esai Se-ASEAN.

Datuk Jasni adalah juga pimpinan Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) Sabah, serta Dewan Bahasa dan Sastera (Bahasa) Sabah.

Pembicara lain, penyair Fatin Hamama –yang mempromosikan puisi esai ke Mesir– pada kesempatan itu menyatakan, “Puisi esai membawa misi kemanusiaan yang universal. Puisi esai juga menjadi sarana alternatif sebagai diplomasi sastra.”

Dalam diskusi itu, Fatin menuturkan perjuangannya untuk puisi esai di tahap awal, ketika genre sastra itu dan penggagasnya menjadi sasaran kritik dan hujatan dari pihak-pihak, yang belum bisa menerima eksistensi puisi esai.

Sedangkan Monica JR, sebagai pembicara terakhir, menyatakan, puisi esai bisa lebih mudah diterima oleh kaum muda –sebut saja kalangan Generasi Z– ketika ia bukan sekadar karya sastra. Namun bisa berfungsi untuk solidaritas dan “healing.”

Monica, yang mempromosikan puisi esai ke Inggris dan Singapura, menceritakan pengalaman interaksinya dengan beberapa teman dari luar negeri, yang mendapatkan solidaritas dan “healing” itu lewat karya sastra.

“Puisi esai adalah sebuah gerakan dan dia bisa mendorong penyembuhan bagi kaum muda, yang hidup di tengah dunia seperti sekarang ini,” tutur Monica.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano