Jakarta, Aktual.com — Penanganan tindak kejahatan yang dilakukan Polri kerap bermasalah, karena institusi tersebut tidak mempunyai parameter yang jelas dalam menindak setiap kejahatan.
Seperti halnya kasus teraktual adalah penindakan terduga teroris Siyono pada 11 Maret 2016 lalu oleh Tim Densus 88 Mabes Polri.
Mantan Komisioner KPK Busyro Muqoddas mendesak Presiden Joko Widodo membentuk tim independen guna mengusut kejanggalan penindakan Siyono.
Tim independen juga evaluasi institusi Polri, khususnya Tim Densus 88 Mabes Polri dan Badan Nasional Penangulangan Terorisme.
Badan Pemeriksa Keuangan dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan pun diminta juga turun tangan dengan mengaudit sumber dana yang dipergunakan Polri dan BNPT.
Sebab diduga kedua institusi tersebut menerima dana dari luar negeri tanpa ada kejelasan dan keterbukaan.
Menanggapi hal tersebut, pengamat politik Kalbis Institute Masruchin menilai masalah mendasar dari kasus Siyono adalah tidak adanya parameter penggunaan hak diskresi oleh Polri. Parameter atau standar operasional prosedur yang dijadikan pedoman aparat kepolisian.
“Polri itu punya hak diskresi, masalahnya kemudian penggunaan hak itu dilaksanakan secara bertanggungjawab atau tidak. Diskresi itu hak untuk melakukan suatu tindakan berdasarkan Undang-Undang,” ujar Masruchin kepada Aktual.com di Jakarta, Rabu (30/3).
Penggunaan hak diskresi, lanjutnya, turunannya dijabarkan dalam bentuk parameter atau SOP. Dengan begitu, ketika aparat kepolisian menindak suatu kejahatan ada ukurannya yang jelas. Apakah penindakan sudah sesuai prosedur atau justru melanggar prosedur yang ada.
“Diskresi jadi masalah jika dilaksanakan tanpa parameter. Nah pelaksanaannya dilapangan sudah sesuai atau justru melanggar. Kalau melanggar ya masalah. Kalau begitu yang salah siapa? Itu masalah besar polisi ke depan.”
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu