Jakarta, Aktual.com — Para bankir selama ini mengaku terbebani dengan suku bunga pinjaman tinggi di deposito, sehingga mereka merasa kesulitan untuk menurunkan suku bunga kredit, mengingat cost of fund (biaya dana) masih tinggi.

Nantinya, dengan suku bunga acuan baru Bank Indonesia menjadi BI-7 Day (Reverse) Repo Rate dianggap dapat mengurangi ketergantung nasabah bank ke produk deposito.

Menurut Head of Treasury PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), Branko Windoe, transaksi repurchase agreement (Repo) itu akan sangat baik bagi perbankan, karena dananya lebih secure dan dapat mendukung likuiditas perbankan, karena dananya cepat dikembalikan ke perbankan.

“Dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) juga sudah melaunching Repo sebagai instrumen keuangan. Jadi bagi bank-bank tidak ada alasan lagi berdagang di pasar karena uangnya secure,” tandas dia di Jakarta, Kamis (21/4).

Branko menegaskan, Repo Rate ini kemudian tetap didukung regulator agar transaksi di pasar uang tetap bergairah.

“Kami sendiri ada dana repo di BI Rp11 triliun. Dengan Repo Rate itu dana kami mudah ditarik jika likuiditas kami ketat,” tegasnya.

Di tempat yang sama, Direktur Finance & Treasury PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), Pahala N Mansury menegaskan, Repo itu sebagai bentuk pendanaan bank yang akan sering dilakukan. “Maka bank-bank tidak terlalu tergantung pada dana deposito masyarakat,” ungkap dia.

Sehingga dengan kondisi demikian, kata Pahala, secara langsung akan menurunkan suku bunga deposito dan menyebabkan cost of fund turun.

“Imbasnya perbankan bisa cepat menurunkan suku bunga,” tegas dia.

Seperti diketahui, Bank Indonesia sendiri akan memberlakukan BI-7 Day (Reverse) Repo Rate sebagai acuan suku bunga mulai tanggal 19 Agustus 2016 menggantikan BI Rate. Saat ini hingga tanggal tersebut masuk dalam periode transisi.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka