Tim Nuklir Biologi dan Kimia (Nubika) yang terdiri dari Paspampres, TNI AD dan BIN menetralisir lokasi yang terkena senjata kimia teroris dalam simulasi pengamanan KTT Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) 2016 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (28/2). Simulasi yang diikuti sekitar 3.000 prajurit TNI tersebut sebagai kesiapan pengamanan menjelang KTT OKI pada 6-7 Maret 2016 yang rencananya akan dihadiri para kepala negara atau pemerintahan anggota organisasi itu. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/nz/16.

Jakarta, Aktual.com — Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia, Hamdi Muluk mengatakan bahwa deradikalisasi atau pembinaan tidak bisa disepelekan dalam pencegahan terorisme karena merupakan salah satu cara untuk mengembalikan orang yang telanjur radikal menjadi tidak radikal.

“Dengan dilakukan deradikalisasi saja masih ada napi terorisme yang kolot, bagaimana bila tidak dijalankan deradikalisasi,” kata Hamdi, di Jakarta, Jumat (11/3).

Menurut Hamdi, deradikalisasi tidak semudah membalik telapan tangan. Butuh waktu yang panjang untuk menyadarkan orang-orang yang telanjur radikal.

“Bahkan proses pendekatan dan penyadaran itu bisa sangat rumit. Soalnya, biasanya napi terorisme sangat sulit didekati dan diajak bersosialisasi di luar kelompok mereka,” katanya.

Proses penyadaran napi terorisme jelas berbeda dengan napi tindak pidana biasa. Dibutuhkan perenungan serta strategi tepat untuk bisa mengajak mereka berkomunikasi.

Napi terorisme, sambungnya, pernah punya keyakinan dan terpikat ideologi teroris serta tergiur iming-iming pendirian negara Islam, meski harus ditempuh dengan kekerasan. Mereka juga berpikir bahwa hanya orang yang sepaham dengan mereka yang bisa mengelola negara.

“Jadi, harus ada pendekatan secara khusus kepada mereka yang harus dimiliki oleh para petugas Lapas,” ujarnya.

Yang tidak kalah penting adalah harus ada proses lanjutan untuk mengantar mereka kembali ke masyarakat setelah selesai menjalani hukuman.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara