Jakarta, Aktual.com – Pro kontra setiap kebijakan merupakan keniscayaan. Sebab semua stakeholder memiliki sudut pandang pemikiran yang berbeda dalam menilai suatu kebijakan. Namun, dalam manifestasinya, kebijakan haruslah berdasar pada kebutuhan publik.
Dengan dasar itu, hendaknya pihak yang pro maupun yang kontra harus duduk bersama dan mencari solusi terbaik. Tentu rakyatlah yang harus dalam posisi menang dan dimenangkan.
Demikian disampaikan, Direktur Bidang Hukum dan Advokasi Bakornas Lembaga Pariwisata & Pecinta Alam Mahasiswa Islam PB HMI, Budi Nur Hadi Wibowo, dalam keterangan tertulisnya, Senin (20/3).
Menurutnya, Indonesia sebagai negara hukum dalam pelaksanaan kebijakan sudah semestinya mendasarkan pada aturan hukum yang berlaku. Hukum dibuat untuk mengatur penyelesaian masalah, bukan untuk menambah masalah.
Hukum bersifat equality before the law, semua sama dihadapan hukum. Idealnya demikian walaupun praktiknya masih penuh dengan tanda tanya. Namun yang pasti hukum harus berpihak pada kebenaran dan keadilan.
“Kasus pegunungan Kendeng yang tidak selesai sampai hari ini merupakan bukti jika hukum bukanlah panglima tertinggi di republik ini. Sepertinya ada panglima lain yang lebih hebat, yakni politik dengan segudang intriknya,” tegas Budi.
Melihat realitas yang ada, lanjut dia, status pegunungan Kendeng (Karst Sukolilo) adalah sebagai hutan lindung sesuai dengan Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 2641 K/40/MEM/ 2014 Tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst Sukolilo, Jawa Tengah.
Keputusan Menteri ESDM berlaku sejak tanggal 16 Mei 2014, menilik lagi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
Dengan membaca definisi tersebut, kata Budi, seharusnya negara berusaha menjaga dan memeliharanya agar tetap berfungsi sebagaimana mestinya. Walaupun dalam peraturannya, hutan lindung bisa dikelola pertambangan melalui pola tertutup. Yakni melalui penggalian terowongan ke bawah tanah. Itu pun membutuhkan kajian yang benar-benar matang sebelum eksekusi penambangan.
Dalam kajian penambangan tentunya tidak hanya bicara lahan dapat ditambang atau tidak. Ada faktor sosial, ekonomi dan budaya yang pastinya akan berdampak akibat keberadaan penambangan yang harus menjadi objek kajian.
Apalagi jika lokasi yang akan dijadikan tempat tambang terletak di sekitar wilayah yang sudah padat penduduk, sehingga penduduk yang dalam penghidupannya mengandalkan kondisi lingkungan tertentu pasti akan merasa terganggu.
Penolakan dari masyarakat di sekitar kendeng merupakan suatu realitas sosial yang wajib negara perhatikan. Sebuah alasan logis kenapa masyarakat menolak, karena sumber air dan sumber penghidupan dari pegunungan kendeng terancam.
“Pasang surut gugatan masyarakat dalam menolak keberadaan pabrik semen sangat tidak manusiawi, sepertinya hukum terlalu mahal bagi masyarakat kecil,” ucap Budi.
Sebuah perjalanan panjang masyarakat kendeng dalam meminta hak dan keadilan sebagai rakyat, gugatan demi gugatan berawal dari PTTUN Semarang, PTTUN Surabaya kemudian kasasi ke Mahkamah Agung begitu menguras tenaga dan biaya. Perjuangan mencari keadilan yang sangat memilukan.
Ditambahkan, berita baik dari Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan masyarakat Kendeng melalui putusan Nomor Register 99/PK/TUN 2016 tertanggal 5 Oktober 2016 hanya sekedar tiupan angin saja.
Sebab kemudian muncul adendum dari pemerintah provinsi Jawa Tengah yang disinyalir sebagai izin baru terkait dengan pembangunan pabrik semen Rembang, yang kemudian dibantah langsung oleh gubernur Ganjar Pranowo.
Sehari sebelum batas terakhir waktu menjawab putusan hakim, gubernur Jawa Tengah secara resmi mencabut izin semen Rembang. Namun, kenyataannya sampai detik ini, Kaki masyarakat Kendeng masih terpasung semen, dan hukum belum selesai dan tidak menyelesaikan masalah.
Artikel ini ditulis oleh: