Jakarta, Aktual.com — Direktur Utama Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Sad Dian Utomo mengatakan bahwa Indonesia saat ini dilanda permasalahan gizi yang rumit.
Hal itu berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yang memperlihatkan angka prevalensi balita dengan berat kurang mencapai 19,6%. Sementara itu, masalah berat badan pada anak (gemuk) masih tinggi yaitu 18,8%, begitupun halnya dengan remaja dan orang dewasa.
Oleh sebab itu, tanggung jawab untuk mengentaskan permasalahan gizi di tanah air berada pada pemerintah setempat (desa). Hal itu dikarenakan pemerintah desa merupakan tingkatan pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat.
“Dengan keberadaan Undang-undang Desa, desa melalui pemerintahan dan kelembagaan sosial di desanya, kini memiliki kewenangan untuk langsung terlibat dalam penanganan kasus gizi yang terjadi di wilayahnya. Jadi desa tidak perlu lagi menunggu intervensi dari pemerintah diatasnya,” ucap Sad melalui pernytaan tertulisnya, Kamis (28/1).
Lanjut Sad, dengan sumber dana sebesar Rp600 jutaan yang digelontorkan pemerintah pada setiap desa, seharusnya bisa berkontribusi yang signifikan dalam mengentaskan masalah gizi.
“Sayangnya, desa masih lebih memerhatikan pengembangan infrastruktur. Diperparah lagi dengan pemerintah pusat yang mewacanakan penggunaan dana desa tahun ini 100% untuk infrastruktur, padahal kasus gizi kurang dan gizi buruk masih banyak,” tuturnya.
Sebaiknya pemerintah desa menganggarkan penanganan dan pencegahan kasus gizi kurang dan gizi buruk. Dimana dana yang dianggarkan tersebut bisa melengkapi dana posyandu yang diberikan oleh pemerintah kabupaten. Tentu dengan membahasnya terlebih dahulu dalam musyawarah desa.
“Pemerintah desa bisa menggunakan dana-dana tersebut untuk memberi lebih banyak bantuan makanan pendamping ASI kepada balita,” ujarnya.
Tidak hanya itu, anggaran dana tersebut juga bisa diperuntukan untuk meningkatkan kemampuan kader posyandu dalam mengolah bahan lokal yang bernutrisi tinggi.
Tak kalah penting, warga diajak membahas permasalahan gizi. Sehingga, warganya bisa lebih sadar tentang situasi kesehatan desanya,
“Selama ini musyawarah desa lebih sering membahas masalah dan kebutuhan fisik masyarakat seperti pembangunan infrastruktur saja. Kebiasaan ini harus diubah,” tuturnya.
Pemerintah Desa sambungnya, juga harus berani menagih peran Dinas Kesehatan dan Puskesmas dalam bekerjasama menangani permasalahan gizi di desa dengan menugaskan tenaga ahli gizi yang mereka miliki.
“Perlu diingat, semakin banyak balita atau anak yang menderita masalah gizi, semakin Indonesia kehilangan generasi mudanya. Untuk itu, perlu komitmen yang tinggi dari pemerintah dan masyarakat,” Pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh: