Jakarta, aktual.com – Badan Pengkajian Kelompok III MPR RI menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Desentralisasi, Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah dan Desa” sebagai upaya memperdalam kajian terhadap dinamika penyelenggaraan pemerintahan daerah dan desa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Kegiatan ini dihadiri oleh pimpinan dan anggota Badan Pengkajian MPR RI serta sejumlah narasumber ahli dari kalangan akademisi dan praktisi, di kawasan Tangerang Selatan, Banten, Selasa (16/12/2025).
Pimpinan dan Anggota Badan Pengkajian MPR RI yang hadir meliputi: Ketua Kelompok III Badan Pengkajian MPR RI, Dr. Hj. Hindun Anisah, M.A, serta sejumlah Anggota Badan Pengkajian, Dr. I Wayan Sudirta, S.H., M.H., H. Kamrussamad, Ph.D., Heri Gunawan, S.E., M.AP., Dr. Ir. Hj. Andi Yuliani Paris, M.Sc., dan Drs. H. Guntur Sasono, M.Si.
Selain itu, kegiatan ini juga menghadirkan sejumlah narasumber ahli, yaitu: Prof. Budi Setyono, S.Sos., M.Pol.Admin., Ph.D., Prof. Dr. Renea Shinta Aminda, S.E., M.M., serta Dr. Fajar Laksono Suroso, S.H., M.H.
Dalam sambutannya, Ketua Kelompok III Badan Pengkajian MPR RI, Dr. Hj. Hindun Anisah, M.A., menyoroti salah satu persoalan krusial yang menjadi perhatian, yaitu dualisme pengaturan desa. Di satu sisi, desa dipandang sebagai entitas sosiologis dan kultural yang harus dilestarikan, namun di sisi lain desa juga ditempatkan sebagai bagian dari struktur pemerintahan.
“Kondisi ini, menurutnya, menimbulkan problem kelembagaan karena pengelolaan desa berada di bawah lebih dari satu kementerian, mulai dari Kementerian Desa, Kementerian Dalam Negeri, hingga Kementerian Keuangan. Akibatnya, terjadi tumpang tindih kewenangan dan duplikasi program,” tuturnya.
Selain itu, Hindun Anisah juga menyoroti isu sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang dinilainya menjadi salah satu isu paling hangat. Ia mengingatkan bahwa Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 mengamanatkan kepala daerah dipilih secara demokratis.
“Namun dalam praktiknya, pelaksanaan pilkada justru memunculkan berbagai persoalan, seperti tingginya biaya politik, polarisasi sosial di masyarakat, serta belum optimalnya hubungan hierarkis antara pemerintah kabupaten, provinsi, dan pusat,” sambung dia.
Dari FGD sebelumnya, ia juga menyebut perihal sistem Pilkada tidak diseragamkan di seluruh wilayah.
“Kita perlu mendiskusikan sejauh mana makna demokratis itu diterjemahkan dalam sistem pemerintahan daerah,” ujarnya.
Menanggapi hal itu, narasumber ahli yang juga merupakan Kepala Biro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Dr. Fajar Laksono Suroso, S.H., M.H., menanggapi hal tersebut dengan menegaskan bahwa regulasi yang paling sering diuji di MK adalah undang-undang yang berkaitan dengan pemilu dan pilkada.
“Undang-undang di bidang kepemiluan merupakan regulasi yang paling dinamis dan paling sering menimbulkan persoalan konstitusional dalam praktik ketatanegaraan kita,” ujarnya.
Ia mencontohkan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Pilkada yang kerap menjadi objek pengujian. Fajar menegaskan bahwa putusan MK, meskipun tidak mengubah UUD 1945 secara formal, bersifat mengikat sebagai penafsiran resmi konstitusi.
“Dalam praktik, putusan MK dapat berfungsi sebagai perubahan konstitusi secara materiil, meskipun kewenangan perubahan konstitusi secara formal tetap berada pada MPR,” tegasnya.
Sementara itu, Prof. Dr. Renea Shinta Aminda, S.E., M.M., Guru Besar dari Universitas Ibnu Khaldun Bogor, menyoroti tantangan serius dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal. Menurutnya, praktik kebijakan menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal di Indonesia masih menghadapi kendala struktural, terutama tingginya ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat. Ia memaparkan,
“Kondisi ini memperlihatkan lemahnya kemandirian fiskal, mengingat sekitar 65 persen pendapatan daerah masih bersumber dari transfer pusat, sementara kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) rata-rata hanya sekitar 30 persen,” tuturnya.
Ia mendorong penataan ulang hubungan pusat dan daerah melalui penyelarasan kewenangan pendapatan dan perbaikan desain transfer fiskal.
Narasumber ahli lainnya, Prof. Budi Setiyono, Ph.D., yang merupakan Sekretaris Utama Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (BKKBN) mengkritisi praktik desentralisasi yang dinilainya belum sepenuhnya berjalan efektif, meskipun memiliki landasan konstitusional yang kuat pascareformasi.
“Namun dalam praktiknya, berbagai persoalan masih mengemuka, mulai dari ketergantungan fiskal daerah terhadap pemerintah pusat, ketimpangan kapasitas antardaerah, maraknya pemekaran wilayah yang tidak terkendali, hingga kecenderungan re-sentralisasi kewenangan melalui regulasi sektoral,” ujarnya.
Ia menilai desain desentralisasi yang ditegaskan dalam UUD 1945 belum sepenuhnya terwujud secara substantif, dan mendorong reformulasi desentralisasi yang lebih kontekstual dan adaptif.
Sementara itu, salah satu Anggota Badan Pengkajian MPR RI, Drs. H. Guntur Sasono, M.Si., menilai FGD ini penting karena membahas implementasi demokrasi.
Menurutnya, demokrasi Indonesia secara prinsip sudah berjalan baik, namun pelaksanaannya harus tetap berpijak pada aturan hukum dan nilai-nilai moral. Ia menyoroti tantangan dalam praktik demokrasi saat ini, khususnya dalam proses keterpilihan wakil rakyat.
“Padahal banyak juga anggota DPR yang terpilih secara murni dan baik oleh rakyat,” ujarnya.
Karena itu, Guntur menekankan pentingnya menjaga integritas dan keteladanan wakil rakyat agar demokrasi berjalan sesuai tujuan untuk kepentingan rakyat dan keberlangsungan negara.
Menutup rapat ini, Hindun Anisah berharap FGD ini dapat menghasilkan rekomendasi yang konstruktif untuk perbaikan kebijakan desentralisasi maupun penguatan tata kelola pemerintahan daerah.
Ia juga mendorong para narasumber untuk menyusun kajian tertulis sebagai pendalaman materi, yang nantinya akan dihimpun dan disusun menjadi bunga rampai kajian otonomi daerah. Dokumen tersebut diharapkan dapat menjadi rujukan akademik sekaligus rekomendasi kebijakan bagi para pemangku kepentingan.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano

















