Kupang, Aktual.com — Dengan berpakaian adat setempat, Lambertus Rawuk duduk bersila di dekat tiang utama rumah adat Kampung Ruteng Pu’u, di Kelurahan Golodukal, Langke Rembong, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur, di kawasan barat Pulau Flores.

Di tiang kayu utama di dalam rumah adat tersebut, bergantungan beberapa perangkat adat, seperti sejumlah bende yang mereka sebut gong, anyaman bambu tempat menggantungkan bulu ayam khusus dari bagian sayap, tanduk, dan wadah sopi.

Raut wajahnya menunjukkan usia sekitar 70 tahun. Ia terkesan kharismatis dengan selembar kain tenun khas Manggarai menggantung di lehernya serta iket penutup kepalanya yang bermotif batik. Para tamunya terkesima mendengar dia bertutur tentang kisah adat, tradisi, leluhur, dan nilai budaya masyarakat kampung adat setempat.

Siang itu, Lambertus yang ketua kampung adat setempat menerima kunjungan rombongan tamu dalam program kemitraan antara Pemerintah Kota Magelang, Jawa Tengah, dengan para wartawan dari berbagai media massa yang sehari-hari bertugas di Kota Magelang.

Dalam rombongan yang dipimpin Asisten Hubungan Masyarakat, Perlengkapan, dan Umum Sekretaris Daerah Pemerintah Kota Magelang Aris Wicaksono tersebut, juga ikut sejumlah pejabat dan staf pemkot lainnya.

Tangan kanan Lambertus beberapa kali menunjuk ke atap rumah itu, ketika ia menjelaskan tentang rangka kayu rumah adat yang berbentuk kerucut dengan penutup ijuk. Batu akik warna merah cemerlang di jari manisnya menarik perhatian sejumlah orang dalam rombongan, terutama mereka yang duduk di tikar pandan, samping kanan tempat bersila ketua kampung adat itu.

“Kerangka atap rumah ini menjadi acuan juga dalam pembagian warisan sawah. ‘Sawah lodok’,” kata ia dalam bahasa Manggarai, seperti diterjemahkan oleh Ketua Bidang Humas Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Kabupaten Manggarai Barat Yohanes Romualdus (38) yang mendampingi kunjungan rombongan.

Sebagaimana dikatakan Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi NTT yang saat itu juga Penjabat Bupati Manggarai Jelamu Arda Marius, sebagian besar masyarakat setempat masih mempertahankan tradisi dan nilai-nilai budaya, termasuk dalam budaya pertanian yang berupa “sawah lodok”.

Salah satu hamparan “sawah lodok” yang pembagiannya berupa garis-garis pematang terlihat mirip jaring laba-laba, bisa disaksikan dari atas Bukit Cara, Kampung Meler, Desa Cancar, Kecamatan Ruteng, sekitar 15 menit perjalanan menggunakan bus wisata dari Kampung Adat Ruteng Pu’u. Ruteng adalah Ibu Kota Kabupaten Manggarai, di bagian barat Pulau Flores.

“Tadi ada turis dari Amerika yang lama di atas (Bukit Cara, red.), kelihatan tak mau turun-turun, dari jam 08.00 sampai 11.00 Wita,” kata seorang perempuan yang tinggal di bawah bukit itu, Suzana Diit, sambil menumbuk kopi secara tradisional untuk disajikan kepada anggota rombongan dari Kota Magelang.

Suaminya yang juga juru kunci bukit tersebut, Basillius Nogot, menyediakan buku tamu untuk mereka yang hendak menyaksikan “sawah lodok” dari atas bukit. Deretan ratusan nama turis mancanegara dan nusantara, tertera dalam buku yang telah tampak kumal. Minuman panas berupa kopi jenis Arabica, panenan dari pekarangan pasangan suami-isteri itu, disuguhkan kepada pengunjung “sawah lodok”.

Di atas bukit yang siang itu baru saja diguyur gerimis, Yohanes Romualdus yang terdengar akrab dipanggil Kacek menjelaskan kepada rombongan pengunjung tentang pertanian “sawah lodok”.

Pelaku wisata setempat terutama pemandu wisata seperti dirinya, menjadikan “sawah lodok” sebagai cerita penting yang perlu disampaikan kepada para wisatawan, bukan saja karena wajah hamparan sawah yang berbentuk jaring laba-laba, tetapi juga nilai budaya yang membalutnya. Umumnya di Indonesia, hamparan sawah terbagi dalam garis-garis pematang yang berupa kotak atau empat persegi.

“‘Niang one lingko peang’, artinya bahwa setiap rumah adat ada lingko yang menjadi tempat bercocok tanam. Di tengah sawah itu ada lodok yang menjadi titik pusat, ditandai dengan teno atau kayu dalam pembagian sawah, petak demi petak sawah kemudian membentuk seperti jaring laba-laba,” ujarnya.

Hingga saat ini, petani setempat memanen padi hasil olahannya secara tradisonal. Setiap tahun, mereka bisa panen tiga kali dengan didukung pasokan air dari saluran irigasi yang memadai. Salah satu hasil tanaman pertanian unggulan lainnya dari daerah setempat adalah kopi jenis Arabica. Daerah setempat memang menjadi salah satu lumbung padi yang penting untuk provinsi kepulauan tersebut.

Satu lodok menunjuk kepada suatu keluarga besar di Manggarai. Persoalan batas lodok, diakui Kacek sesekali waktu bisa menimbulkan konflik antarmasyarakat.

Namun demikian, ucapnya, masyarakat setempat di bawah figur kepemimpinan kharismatis masing-masing ketua kampung adat, memiliki kearifan lokal dalam menyelesaikan konflik pembagian sawah antarmereka.

Mereka biasanya menemukan penyelesaian atas konflik batas sawah antarlodok dengan menelusuri status generasi pengolah lahan masing-masing dalam kampung adat.

Ia menyatakan adanya sebutan “anak vina” dan “anak rona” dalam masyarakat Manggarai menjadi jalan penyelesaian masalah batas lodok.

“Ada istilah anak vina atau ‘anak pendatang’ dan anak rona atau pihak perempuan. Ada istilah ‘kawin masuk’, anak vina menyatu dengan anak rona. Itu juga menjadi jalan untuk penyelesaian konflik lodok,” katanya.

Titik utama dalam sistem “sawah lodok” atau pusat garis pembagian sawah menjadi mirip jaring laba-laba, juga sebagai tanda budaya yang mengingatkan generasi mereka kepada leluhur kampung adat Manggarai.

Ia seakan ingin memudahkan tamunya memahami penunjukan atas silsilah keluarga besar dalam masyarakat Manggarai itu, melalui pembandingan dengan pola pembagian sawah dalam bentuk empat persegi panjang atau bujur sangkar, sebagaimana pola pengukuran yang digunakan Badan Pertanahan Nasional.

“Kalau pembagiannya dalam empat persegi panjang atau bujur sangkar, ujung garis-garis pematangnya tidak menunjuk kepada satu titik,” katanya.

Seorang anggota rombongan dari Kota Magelang bernama Anggit Pamungkas, siang itu mengaku ingin berlama-lama di atas bukit tersebut, karena masih hendak membangun dialog refleksi batin atas pemahaman terhadap alam budaya masyarakat Manggarai.

Alam pikirannya seakan melempar angan-angan tentang pertemuan antara titik pusat kerangka atap rumah adat Ruteng Pu’u dengan titik utama jaring laba-laba di atas hamparan “sawah lodok” Cancar.

“Bayangkan! Kita berdiri di sini, memandang ke atas bertemu titik pusat atap rumah adat Ruteng Pu’u, dan memandang ke bawah bertemu titik utama jaring laba-laba ‘sawah lodok’. Perjalanan hidup ini mengarah ke ‘satu titik’. Yang Ilahi,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara