Capres nomor urut 01 Joko Widodo mengikuti debat capres putaran keempat di Hotel Shangri La, Jakarta, Sabtu (30/3/2019). Debat itu mengangkat tema Ideologi, Pemerintahan, Pertahanan dan Keamanan, serta Hubungan Internasional. AKTUAL/Tino Oktaviano

KINILAH saat tepat bagi publik menghitung detik-detik kekalahan calon presiden Joko Widodo. Detik pertama bisa dimulai dari pengumuman hasil survei Litbang Kompas yang mengungkap elektabilitas sang petahana sudah berada di bawah 50%.

Lalu, disusul keluarnya telegram Kapolri, Tito Karnavian, untuk menarik pasukannya berada di tengah. Selanjutnya, Kapolri pun menghentikan sementara acara Millenial Road Safety Festival (MRSF) 2019.

Agar menemukan benang merahnya, hubungan antara satu perisiwa dengan peristiwa yang lain itu, mari kita kupas satu per satu kejadian-kejadian tersebut.

Survei Litbang Kompas boleh jadi hanya menjadi pemicu saja. Saat Kapolri menarik pasukannya ke tengah, netral dalam pemilu, tentu sang Jenderal memiliki hitung-hitungan yang matang. Jangan berpikir bahwa tindakan ini tidak berisiko bagi jabatan Jenderal Tito. Akibat telegramnya itu, orang yang paling dirugikan adalah Jokowi, presiden yang mengangkatnya.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa selama ini, tindakan aparat Polri di seluruh daerah cenderung menjadi alat untuk memenangkan kembali sang petahana. Polri tidak netral. Contoh peristiwa ketidaknetralan polisi sudah cukup terang benderang sehingga tidak perlulah dijembreng-jembreng lagi dalam tulisan ini. Secara kasat mata publik sudah merasakan.

Polisi mesti netral. Itu wajib. Sudah seharusnya. Aneh, jika kenetralan anggota Polri itu masih butuh telegram Kapolri segala. Netralitas Polri tercantum dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri. Pada pasal 28 disebutkan Polri bersikap netral dalam kehidupan poltik dan tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis.

Hanya saja, telegram Kapolri Jenderal Tito Karnavian tertanggal 18 Maret 2019 mengatur lebih detail. Ada 14 poin larangan yang ditekankan dalam telegram itu. Inti dari 14 larangan itu adalah polisi tidak boleh terlibat dukung mendukung dalam bentuk apapun kepada Capres, Cawapres, dan Caleg.

Untuk menunjukkan sikap netral itu, maka Kapolri juga menghentikan acara Millenial Road Safety Festival (MRSF) 2019. Tadinya, menurut rencana acara itu akan digelar di Sulsel, Jakarta, Kaltara, Banten, dan Jateng. Jenderal Tito memutuskan menghentikan sementara acara itu sampai usai pemilu.

MRSF sudah dua kali digelar Korlantas Polri. Acara ini menjadi blunder karena dikotori aktivitas berbau politik mendukung Jokowi. Teranyar adalah acara MRSF yang digelar Polda Jatim di Jembatan Suramadu, 17 Maret lalu. Event yang dihadiri sekitar 70.000 milenial dari 38 kabupaten dan kota dari seluruh Jatim itu dinodai aksi berbau kampanye. Yakni saat sekelompok peserta kampanye malah memutar lagu berjudul “Jokowi Wae”.

Lalu apa benang merah sikap Kapolri Tito ini dengan tanda-tanda kekalahan Jokowi? Sejumlah analis melihat sikap Tito menarik pasukannya ke tengah bukan sekadar karena Polri dikepung isu tidak netral. Polri memutuskan hal itu diduga karena elektabilitas Jokowi memang sudah mentok, sulit untuk didongkrak lagi. Survei Litbang Kompas hanya salah satu parameter saja.

Polri jelas sudah tahu realitas kondisi lapangan yang sejatinya. Bahkan, tak perlu survei-surveian segala, sudah terang benderang pendukung 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, tak terbendung. Ke mana Prabowo datang lautan manusia menyambutnya. Di sisi lain, hal yang sama tidak terjadi pada Capres-Cawares 01, Jokowi-Ma’ruf. Polri tentu tidak mau mengambil risiko tercatat dalam sejarah buram di kemudian hari. Apalagi anggota TNI secara diam-diam juga melakukan gerakan melawan terhadap ketidaknetralan Polri tersebut.

Celakanya, tindakan menarik Polri ke tengah, justru terjadi di tengah badai yang menerpa parpol koalisi pendukung petahana. Ketua Umum PPP yang sudah dipecat, Muhammad Romahurmuziy, masuk perangkap KPK; Ketua DPP Golkar (yang juga sudah dipecat), Erwin Aksa, menyeberang ke 02; PKB dan PPP saling cakar; PDIP dan PSI saling tanduk; Golkar dan Nasdem saling serang.

Menteri yang diharapkan membantu petahana malah menjadi beban bagi elektabilitasnya. Menteri Agama, Lukman Hakim Saefuddin, dan Menteri Pemuda dan Olah Raga, Imam Nahrawi, berada di tubir jurang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berita tentang keduanya saja sudah menglongsorkan elektabilitas Jokowi.

“Jadi kalau saya agak error, mohon maaf,” ujar Jokowi sebelum meresmikan Pasar Badung, Denpasar, 22 Maret lalu.

“Setiap jam ganti provinsi, setiap jam ganti kabupaten, setiap jam ganti kota sehingga kadang-kadang error. Mohon maaf,” lanjutnya. ..?

Ya, pada tahun politik ini Jokowi memang memanfaatkan betul waktu yang dia miliki. Boleh jadi dari situ dia merasakan bahwa masyarakat menyambutnya tidak seheboh dulu lagi.

Cerita ini berlanjut di Stadion Kridosono, Yogyakarta, 23 Maret 2019. Dalam acara deklarasi “Alumni Jogja Satukan Indonesia” itu Jokowi mengikrarkan diri untuk melawan serangan fitnah, dusta, dan makian.

“Saya sebetulnya sudah diam 4,5 tahun. Difitnah-fitnah, saya diam. Dihujat, saya diam. Tetapi hari ini di Yogya saya sampaikan, saya akan lawan! Ingat sekali lagi, akan saya lawan! Bukan untuk diri saya, tapi ini untuk negara,” serunya.

Kadiv Advokasi dan Hukum Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean, menganggap ucapan Jokowi itu sebagai sikap bermusuhan kepada rakyatnya. “Sebaiknya Bapak lebih bijak dalam hal ini,” cuitnya.

Analis sosial Universitas Bung Karno (UBK), Muda Saleh, menilai Jokowi memperlihatkan mental dirinya sudah jatuh. “Kemudian dia coba menajak emosi masyarakat untuk ikut merasakan seperti apa yang ia rasakan. Dan ini tontonan yang buruk sebagai Kepala Negara,” katanya seperti dikutip RMOL, 24 Maret.

Jokowi terkesan mengalami depresi tingkat tinggi. Para psikolog klinis berpendapat, beberapa gejala kasat mata yang dapat menjadi tanda-tanda depresi adalah terjadi beberapa perubahan pada diri seseorang. Kebanyakan orang Solo adalah lembut, halus dan sopan.

Jokowi adalah wong Solo. Tapi kesoloan Jokowi mulai luntur. Ia sudah berubah. Mungkin, ia butuh refresing, liburan untuk melihat yang indah-indah dan menyegarkan mata, atau cobalah sekadar wisata kuliner. Nikmati saja detik-detik kekalahan dengan senyum bahagia.

Benar kata Jokowi, suatu ketika: “Ingin jadi Presiden nggak gampang lho, dipikir mudah?”

Oleh: Direktur Eksekutif PolMark Indonesia, Eep Saefullah Fatah

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan