Mantan anggota DPR dari Fraksi Hanura Dewie Yasin Limpo menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (22/2). Kedua terdakwa itu menjalani sidang dengan agenda pembacaan dakwaan terkait kasus suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro di Kabupaten Deiyai, Papua. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/pd/16

Jakarta, Aktual.com — Bekas anggota komisi VII DPR dari fraksi Partai Hanura Dewie Yasin Limpo pernah meminta bantuan rekannya dari fraksi Partai Gerindra Bambang Haryadi, yang juga duduk di Badan Anggaran untuk meloloskan proposal pembangkit listrik di kabupaten Deiyai, Papua.

“Tanggal 19 saat rapat kerja di Cikopo, saya bertemu dengan Ibu Dewie sekitar 2-3 menit. Bu Dewie hanya menitipkan satu proposal yang belum sempat saya baca dan saya buru-buru, dan saya pun lupa menaruhnya di mana,” kata Bambang saat menjadi saksi di pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (14/3).

Terdakwa dalam kasus ini adalah Dewie dan stafnya Bambang Wahyuhadi, yang didakwa menerima suap sebesar 177.700 dolar Singapura (sekitar Rp1,7 miliar) dari Kepala Dinas ESDM kabupaten Deiyai Irenius Adii dan pemilik PT Abdi Bumi Cendrawasih Setiady Jusuf.

“Tapi saya tidak ingat proposal undak daerah mana di dalam map, Bu Dewie hanya menyampaikan mohon dibantu.”

Dewie menemui Bambang karena sebelumnya dia sudah berbicara dengan anggota Komisi VII dari fraksi Partai PAN Jamaludin Jafar, yang berasal dari daerah pemilihan Papua. Jamaludin mengatakan bahwa cara penganggaran untuk kegiatan berasal dari aspirasi masyarakat, yang diterima anggota DPR dapat dijelaskan oleh anggota banggar.

“Jadi Bu Dewie menanyakan ini ada keluar tidak anggaran yang diusulkan ini (untuk Deiyai), saya bilang tanya ke Pak Bambang, kawan-kawan anggota Banggar karena dia yang mengikuti tentang rapat-rapat sinkronisasi antarbidang, karena saya tidak mengikuti. Saya tidak mungkin jawab ke yang saya tidak tahu, karena beliau kenal pak bambang jadi ya bisa saja,” ungkap Jalamaludin yang juga dihadirkan sebagai saksi.

Bambang pun mengungkapkan bahwa Dewie dalam rapat kerja yang dihadiri oleh Menteri ESDM Sudirman Said itu, banyak berkeluh kesah mengenai minimnya listrik di daerah Indonesia Timur.

“Jadi beliau di Cikopo sudah banyak berkeluh kesah mengenai dapil Indonesia Timur, tapi tidak menyebut satu pun daerah hanya menyebut ini Indonesia tidak adil,” kata Bambang.

Meski jaksa menunjukkan bukti percakapan dalam “whatsApp” antara Dewie dan Bambang yang menunjukkan pernyatakaan Dewie “Ini di sini orangnya mau pulang ke Papua, masih OK tidak anggaran”, namun Bambang berkilah bahwa Dewie tidak secara spesifik menyebutkan daerah Deiyai dan pengajuan proosal oleh Irenius Adii.

“Di Cikopo beliau hanya tanya mekanisme pengusulan anggaran, saya jawab memangnya ada? Apakah mekanisme pengusulan anggaran dari banggar bisa? Saya jawab saya tanya dulu saat rapat di banggar, pengusulan kegiatan untuk aspirasi-aspirasi daerah memang bisa, saya saja bisa ada 10-12 proposal sebulan.”

Sedangkan, rapat 19 Oktober, kata dia, itu adalah rapat sinkronisasi agar kegiatan di rapat-rapat sebelumnya ditandatangani oleh Menteri ESDM.

“Tapi saya di situ mengatakan bahwa PLTS tidak mungkin tender karena pemerintah akan menunjuk BUMN untuk mengerjakan, itu ada perpresnya, jadi tidak benar Bu dewie minta untuk meloloskan PLTS di Deiyai, tidak ada disebutkan Deiyai, di Jawa yang merupakan dapil saya saja banyak tidak bisa (lolos).”

Sehari setelah rapat 19 Oktober 2015 itu, uang untuk Dewie diserahkan pada 20 Oktober di Resto Baji Pamai Mal Kelapa Gading Jakarta Utara dari Irenius dan Setiady kepada asisten Dewie, Rinelda Bandaso alias Ine yaitu 177.700 dolar Singapura dan sebagai jaminan yang ditandatangani oleh Ine mewakili Dewie serta Jemmie Dephiyanto Pathibang mewakili Setiadi dan Irenius sebagai saksi.

Isi surat adalah uang akan dikembalikan apabila Setiady gagal menjadi pelaksana pekerjaan. Atas perbuatan tersebut, Dewie, Bambang dan Rinelda didakwa pasal 12 huruf a pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 64 ayat 1 KUHP dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu