Jakarta, Aktual.com – Destructive Fishing Watch (DFW) menginginkan ada kesempatan akses yang adil dalam regulasi terkait penggunaan alat tangkap yang diperbolehkan bagi nelayan, baik nelayan dengan kapal kecil maupun bobot besar.
“Sebaiknya pemerintah memberikan akses yang sama, artinya kalau mau bolehkan (alat tangkap), berikan kesempatan yg sama juga pada nelayan kecil, dan jika dilarang maka secara total dilarang,” kata Koordinator Nasional DFW Indonesia, Moh Abdi Suhufan kepada Antara di Jakarta, Minggu.
Menurut Abdi Suhufan, saat ini perbaikan tata kelola perikanan yang dijanjikan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) belum sesuai harapan, antara lain terlihat dari pengaturan penangkapan udang yang memberi prioritas pada kapal ukuran besar dan meminggirkan kapal kecil.
Hal tersebut, masih menurut dia, menimbulkan praktik ketidakadilan karena alokasi izin hanya akan diberikan kepada kapal ikan ukuran besar dan zona tangkap yang luas termasuk dalam zona tangkap nelayan kecil dan tradisional.
Abdi menyebut hal itu terkait Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 18/2021 tentang Penempatan Alat Penangkap Ikan dan Alat bantu Penangkapan Ikan di WPPNRI dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan, yang dinilai mengandung sejumlah aturan yang merugikan nelayan tradisional penangkap udang.
“Pasal 26 Permen 18/2021 menyebutkan jaring hela udang berkantong hanya diberikan pada kapal ukuran di atas 30 gross tonnage (GT),” kata Abdi.
Pasal ini, lanjutnya, telah menutup kesempatan kapal di bawah 30GT untuk melakukan penangkapan udang dengan jenis alat tangkap jaring hela berkantong.
Ia berpendapat bahwa jaring hela berkantong oleh nelayan Indonesia timur identik dengan jenis alat tangkap trawl mini. Sebelum pelarangan trawl mini pada era Menteri Susi, terdapat 50 kapal tradisional ukuran di bawah bobot 5 GT yang menggunakan alat tangkap ini di Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku.
Ia mencemaskan bahwa aturan itu berpotensi mengakibatkan konflik zona penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 718 atau Laut Arafura antara kapal besar dan nelayan tradisional.
“Menteri perlu mengevaluasi dan merevisi aturan ini sebelum dilaksanakan dan menimbulkan konflik,” kata Abdi.
Koordinator Nasional DFW Indonesia itu mengemukakan, untuk sementara yang disorot pihaknya adalah udang sebab dinilai menjadi keresahan nelayan di Kepulauan Aru yg akan menjadi lokasi pelaksanaan penangkapan terukur.
Mengenai budi daya tambak udang di daerah itu, ia mengemukakan bahwa ada budi daya tambak udang oleh pihak swasta tetapi sifatnya masih terbatas, sedangkan yang saat ini menjadi incaran di kawasan perairan WPP 718 adalah udang.
Terkait dengan komoditas udang, sebelumnya, Dirjen Perikanan Budidaya Tb Haeru Rahayu mengemukakan bahwa untuk mencapai target produksi udang sebesar 2 juta ton pada 2024, pihaknya telah melakukan tiga langkah, yaitu evaluasi, revitalisasi, dan modeling.
Dirjen yang akrab disapa Tebe, memaparkan langkah-langkah tersebut adalah dengan mengevaluasi lahan budi daya yang ada di seluruh Indonesia, yang sebesar 300.501 hektare dan terdiri atas lahan tambak tradisional, intensif, dan semi intensif.
Selain itu, ujar dia, KKP juga menyiapkan luas lahan modeling atau tambak percontohan yaitu sebesar 14.000 hektare yang terdiri lahan tambak tradisional menjadi tambak intensif 11.000 hektare dan pembukaan lahan baru sebesar 3.000 hektare.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Dede Eka Nurdiansyah