Ilustrasi

Jakarta, Aktual.com – Lembaga swadaya masyarakat Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia menilai sistem pengupahan awak kapal perikanan masih perlu pengawasan karena masih ada yang belum ideal.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (13/11) mengatakan bahwa hasil kajian yang dilakukan pihaknya pada Juni 2022 mengungkap sistem dan besaran upah yang diterima oleh awak kapal perikanan di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zahman, Jakarta belum ideal.

“Rata-rata upah yang diterima awak kapal perikanan hanya berkisar Rp900 ribu hingga Rp1,3 juta per bulan,” kata Abdi.

Hasil survei tersebut juga menemukan bahwa 47 persen awak kapal perikanan menerima upah kurang dari Rp2 juta. Sementara itu, pemerintah menetapkan Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta tahun 2022 sebesar Rp4,6 juta per bulan.

Menurut ketentuan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 33/2021, sistem pengupahan awak kapal perikanan dapat dilakukan dengan bagi hasil dan gaji bulanan. “Sistem bagi hasil dan gaji harian, umumnya diterapkan oleh kapal-kapal penangkap ikan, sedangkan gaji bulanan diterapkan pada kapal pengangkut ikan,” kata Abdi.

Pihaknya menyoroti mekanisme pengupahan dengan sistem bagi hasil belum memenuhi standar hidup dan azas keadilan bagi awak kapal perikanan.

Dalam ketentuan Pasal 176 ayat 2 Permen KP Nomor 33 Tahun 2021 disebutkan bahwa dalam kondisi yang mengakibatkan tidak terdapat pendapatan bersih, pemilik atau operator kapal perikanan harus memberikan gaji kepada seluruh awak kapal, masing-masing setengah dari besaran upah minimum provinsi atau upah minimum kabupaten atau kota untuk setiap bulan.

“Berdasarkan ketentuan tersebut, upah minimal awak kapal perikanan di Muara Baru mestinya Rp2,3 juta per bulan,” kata Abdi.

Permasalahannya, pengawasan sistem pengupahan awak kapal perikanan belum pernah dilakukan oleh otoritas ketenagakerjaan maupun perikanan. Akibatnya walaupun sudah ada diatur dalam regulasi perikanan, tapi implementasi aturan tersebut belum sepenuhnya berlaku.

“Mesti ada Surat Keputusan Bersama Menteri Kelautan dan Perikanan dengan Menteri Ketenagakerjaan yang mengatur standar pengupahan dan hal-hal yang terkait dengan pekerja perikanan khususnya awak kapal,” kata Abdi

Peneliti DFW Indonesia Imam Trihatmadja menambahkan bahwa praktik pengupahan awak kapal perikanan yang terjadi saat ini menyebabkan indikasi berkurangnya minat pekerja menjadi awak kapal perikanan dalam negeri.

“Mereka yang menjadi ABK domestik adalah pekerja yang tidak punya skill sama sekali dan menjadi pilihan terakhir,” katanya.

Ia mengkhawatirkan industri perikanan tangkap dalam negeri akan mengalami kekurangan awak kapal perikanan.

“Awak kapal perikanan akan lebih tertarik menjadi pekerja migran sebab gaji yang ditawarkan jauh lebih tinggi. Taiwan telah mengeluarkan ketentuan baru untuk ABK migran nonpengalaman diberikan upah Rp8,2 juta per bulan,” kata Imam.

Indonesia merupakan salah satu negara pemasok awak kapal perikanan di negara-negara Asia seperti Taiwan, Korea Selatan, dan Filipina.

Artikel ini ditulis oleh:

Arie Saputra