Beranda Eksklusif Voice of Freedom Di Balik Invasi Rusia ke Ukraina: Adu Cerdik Antara Putin dan Xi...

Di Balik Invasi Rusia ke Ukraina: Adu Cerdik Antara Putin dan Xi Jinping

Arsip - Kendaraan militer yang hancur terlihat selama konflik Ukraina-Rusia di kota Rubizhne, wilayah Luhansk, Ukraina, 1 Juni 2022. ANTARA/REUTERS/Alexander Ermochenko/as

Balimuh | Analis Geopolitik 

Invasi Ukraina menjadi tolak ukur mulusnya aliansi strategis kedua negara yang sedang terus dibangun. Keberhasilan Rusia di Ukraina akan memberikan kepercayaan China untuk merealisasikan penyatuan Taiwan dalam waktu dekat. Dengan ofensivitas militer Rusia untuk mempercepat kemenangan atas Ukraina, sepertinya Putin memberikan punggung bagi Xi Jinping untuk menginvasi Taiwan.

Skenario kemenangan cepat invasi Ukraina yang dibayangkan Putin justru menjadi bumerang bagi dirinya. Ukraina melakukan totalitas perlawanan yang diinisiasi oleh Presiden yang diikuti oleh semua pemimpin pemerintahan dan rakyat Ukraina. Bahkan mantan Presiden Ukraina berdiri dibelakang Pemerintah ikut melakukan perlawanan. Di awal invasi 24 Februari 2022 sampai dengan saat ini, Presiden Zelensky tetap bertahan di Ukraina untuk terus memimpin perlawanan ke Rusia, walau di awal invasi dihimbau untuk evakuasi keluar Ukraina oleh para Pemimpin Barat.

Menjelang satu tahun invasi Ukraina, posisi Putin semakin terjepit. Dengan banyaknya sanksi ekonomi, bisnis, keuangan, perdagangan, teknologi tinggi, energi, pertambangan, otomotif, pembekukan 300 miliar dolar aset Bank Sentral, serta aset-aset milik pejabat Rusia dan oligarch pendukung Putin, membuat perekonomian Rusia mengalami meltdown terancam resesi.

Narasi di awal invasi yang selalu digelorakan oleh para sekutu Putin agar Amerika dan NATO jangan memberikan persenjataan canggih ke Ukraina karena akan menjadi Pihak langsung yang ikut berperang sehingga dapat memicu terjadinya PD III sepertinya semakin tidak diindahkan. Amerika bersama sekutu Barat-nya terus memompa memberikan bantuan  persenjataan canggih yang dibutuhkan Ukraina.

Sekjen NATO Jens Stoltenberg dalam World Economic Forum kemarin, menegaskan bahwa Ukraina akan menjadi anggota NATO, namun yang lebih penting sekarang katanya, Ukraina harus menang melawan Rusia. Oleh karena itu, militernya harus dibantu dan diperkuat dengan persenjataan canggih yang dibutuhkan Ukraina.

Setelah Amerika setuju mengirim Rudal Patriot di bulan Desember 2022, negara-negara yang tergabung di NATO terus memberikan berbagai jenis senjata tempur modern canggih artileri, kendaraan lapis baja dan roket di tengah dinamika internal yang tinggi dalam memberikan bantuan berbagai jenis persenjataan tersebut. Jerman dengan penuh pertimbangan dan kehati-hatian pada akhirnya memberikan tank Leopard 2 ke Ukraina bersamaan dengan Amerika menambah bantuan persenjataan berupa tank tempur Abrams M1 yang sangat modern, di tengah derasnya bantuan ekonomi dan persenjataan yang sudah diberikan Jerman.

Belum saja selesai bantuan terakhir persenjataan canggih diterima, Ukraina sudah mendesak ke sekutu Barat-nya untuk kembali meminta dan diberikan pesawat tempur F16 dan rudal jarak jauh. Presiden Zelensky mengatakan Ukraina membutuhkan banyak persenjataan menghadapi Rusia yang semakin brutal menyerang infrastruktur dan target sipil. Permintaan Zelensky yang sudah disampaikan kepada Sekjen NATO Jens Stoltenberg tentunya menambah pro kontra pada sekutu Barat-nya, baik Amerika, NATO maupun UE. Biden dan Scholz sudah mengatakan  tidak, walau Macron dalam pandangan atas permintaan tersebut mengatakan itu masih dalam opsi kajian terukur.

Bila mengacu sejak awal invasi Ukraina semua persenjataan yang diminta dan diterima Ukraina diawali penolakan oleh sekutu Barat-nya. Jadi, bila Barat menginginkan Ukraina menang atau setidak-tidaknya dapat memukul mundur permanen pasukan Rusia di empat wilayah Ukraina, termasuk aneksasi Crimea tahun 2014, yang diklaim sudah menjadi bagian Federasi Rusia pada Oktober 2022 lalu, maka kemungkinan besar permintaan Zelensky akan disetujui Barat.

Kanselir Jerman Olaf Scholz di acara WEF Davos 2023 mengatakan Rusia harus gagal agar perang berakhir. Namun Scholz tidak menjelaskan secara rinci bagaimana Ukraina dapat memenangkan perang tersebut.

Koran The New York Times dalam beritanya pada 18 Januari 2023 dengan judul U.S. Warms to Helping Ukraine Target Crimea, melaporkan bahwa Pemerintahan Joe biden sedang mempertimbangkan argumen bahwa Kiev membutuhkan kekuatan untuk menyerang Semenanjung Crimea yang dianeksasi Rusia pada tahun 2014. Rencana tersebut tentunya semakin mengubah jalannya perang di Ukraina. Dan akan ada banyak skenario dan teori yang mungkin terjadi.

Perjuangan gigih tidak kenal menyerah, disertai pengorbanan luar biasa yang ditunjukkan tentara dan seluruh rakyat Ukraina yang di orkrestrasikan Presiden Zelensky membuat kemungkinan perang ini akan berjalan panjang, masif, dan eskalatif. Karena di sisi lain Presiden Putin menegaskan serangan militer Rusia sampai saat ini sudah berjalan dengan benar. Sedangkan mantan Presiden Rusia Medvedev belum lama ini memberikan penegasan berulang atas semakin banyaknya bantuan senjata canggih kepada Ukraina akan berpeluang meningkatkan penggunaan senjata nuklir.

China tentunya sangat memperhatikan setiap perkembangan yang terjadi pada invasi Ukraina. Dan Presiden Xi Jinping sepertinya cermat mengkalkulasi segala perkembangan tersebut. Mitra tanpa batas dengan Rusia tersebut tentu akan mengkaji secara matang supaya tidak merugikan kepentingan strategis China, namun tetap menjaga hubungan erat dengan Rusia

Tidak berjalannya skenario awal Presiden Putin dalam invasi Ukraina tentunya menjadi pertimbangan khusus Xi Jinping. Ditambah ada persoalan sistemik di dalam negeri yang sedang dihadapi China. Dampak kebijakan nol Covid selama tiga tahun di China memberikan pukulan yang kuat bagi perekonomian China. Defisit fiskal hampir mencapai 1,7 triliun dolar sepanjang Januari-September 2022, naik hampir tiga kali lipat dari tahun 2021 di periode yang sama. Belum sektor properti yang mengalami krisis likuiditas sebelum adanya Covid yang disebabkan bubble economic sektor properti sehingga terjadi juta-an properti yang kosong yang menyebabkan banyaknya “Kota Hantu”. Mega proyek kereta api cepat yang menguras keuangan Pemerintah Daerah China yang membebani keuangan negara. Sampai bulan September 2021 total utang kereta api cepat sebesar 5,8 triliun Dolar Amerika, atau setara 5 persen dari PDB China. Ini berkali-kali lipat dari krisis utang raksasa properti China, Evergrande yang menyebabkan krisis properti.

Kompleksitasnya persoalan ekonomi yang dihadapi China, persoalan geopolitik dengan Taiwan, adanya perang dagang dan larangan ekspor chip untuk ukuran nano oleh Amerika semakin memperburuk situasi yang dihadapi Xi Jinping. Banyak lembaga ekonomi yang memprediksi tahun 2023 menjadi tahun terberat China. Untuk mengantisipasi hal tersebut, dengan cepat China melonggarkan kebijakan nol Covid di bulan Desember 2022 agar roda perekonomian bisa bergerak optimal. Walau konsekuensinya, resiko yang terpapar Covid menjadi sangat massif. Banyak teori yang mengatakan ada sekitar satu juta-an lebih orang yang meninggal karena virus dampak dari kebijakan tersebut.

Dengan mulai kembalinya China fokus di sektor ekonomi, Pemerintah China menargetkan pertumbuhan lima persen di tahun 2023. Ini sangat tidak mudah, membutuhkan Pemimpin yang pintar, lentur dan cerdik dalam merespon lingkungan global yang sangat challenging dan risky.

China menyadari dengan kebijakan nol Covid yang lalu dan masalah Taiwan banyak kesempatan ekonomi yang sudah dan akan terbangun menjadi hilang. Tentunya kesempatan ini direbut oleh negara lain. Suka atau tidak, India akan diuntungkan dengan keadaan tersebut. Perusahaan Apple sudah merelokasi pabriknya dari China ke India. Taiwan sudah melakukan penjajakan kerja sama bisnis dengan India untuk membangun teknologi canggih semikonduktor berukuran nano.

Bila mengkaji hal tersebut lebih dalam, peluang China untuk melakukan penyatuan Taiwan dalam waktu dekat sungguh kecil. China hanya sebatas unjuk kekuatan tanpa berani melakukan tindakan jauh seperti yang dilakukan Rusia ke Ukraina. Dan lebih tidak mungkin lagi melihat China akan membantu Rusia dalam persenjataan militer yang dibutuhkan, seperti Amerika dan NATO membantu Ukraina baik senjata maupun uang.

Kerja sama tanpa batas China-Rusia yang mungkin realistis terbangun saat ini baru sampai pada bidang politik dan ekonomi. China akan selalu memiliki suara yang sama dengan kepentingan politik Rusia. China akan bersuara keras menentang sanksi-sanksi Rusia baik di Forum PBB maupun di berbagai Forum Internasional atas kebijakan Amerika dan sekutunya terhadap Rusia.

China tetap konsisten membangun kerja sama ekonomi strategis dengan Rusia. Di saat adanya larangan untuk tidak melakukan perdagangan dengan Rusia karena dianggap bisa membantu pendanaan perang invasi Ukraina, China justru menjadi tujuan utama ekspor Rusia yang nilainya melesat mendekati Rp 3.000 triliun sepanjang 2022. Nilai ekspor impor kedua negara menyumbang tiga persen dari total perdagangan China.

Secara paralel selain menjaga bangunan kerja sama dengan Rusia, China juga memperoleh keuntungan ditinjau dari National Interest-nya. China bisa membeli minyak dengan harga murah dan dapat membangun Strategic Petroleum Reserve (SPR), yang di dunia baru Amerika memiliki.

Jadi, Xi Jinping dalam memperhatikan perkembangan invasi Ukraina, dia akan bertindak penuh perhitungan cermat. Hal ini dilandasi berdasarkan pengalaman pribadi dirinya. Saat remaja di Era Revolusi Kebudayaan yang sangat kacau dicetuskan Mao Zedong, ayah-nya yang merupakan elit Partai dituduh menjadi pengkhianat sangat membekas ke dalam hidupnya Xi Jinping. Xi menjadi diri yang selalu penuh perhitungan dalam melakukan sesuatu. Di dalam prosesnya untuk menjadi orang nomor satu di China, dia selalu membatasi diri tidak mau dan ingin menjadi pusat perhatian publik.

Saat Xi Jinping masih berkarir di Partai tahun 1980 an di China Selatan, dia memperhatikan dengan seksama jalannya demonstrasi besar di Lapangan Tiananmen tahun 1989. Xi mengambil posisi politik pada saat itu sejalan dengan langkah kebijakan yang dibuat Deng Xiaoping. Desakan untuk kebebasan oleh demonstran yang didukung oleh sebagian Elit Partai membuat China pada saat itu berada di simpang jalan yang nyaris mengalami perpecahan. Keputusan Deng Xiaoping mengerahkan tentara PLA dan “mengunci” Elit Partai yang mendukung gerakan tersebut menyelamatkan China dari perpecahan. Dan hal ini tidak seberuntung Uni Soviet di tahun 1989.

Saat menjadi Wakil Presiden, Xi sangat penuh perhatian atas terjadinya Revolusi Melati Tunisia yang melahirkan Arab Spring di negara-negara Timur Tengah 2010-2011. Menurut Xi, China harus membangun sistem yang kuat ditopang dengan perekonomian yang maju yang melahirkan kemakmuran agar terhindar dari situasi dan peristiwa yang mengancam eksistensi negara. Sistem kuat yang dimaksud Xi adalah dengan memperkuat doktrin ideologi komunis ala China kepada rakyat-nya. Dan menggalakan program pemberantasan korupsi untuk menekan ekonomi biaya tinggi. Bagi Xi agenda pemberantasan korupsi memang sangat penting namun bila dibandingkan dengan kebebasan bicara agenda korupsi bisa dikesampingkan.

Jadi melihat situasi yang dihadapi oleh Xi Jinping dan Putin dalam menghadapi persoalan khususnya konflik wilayah. China dengan Taiwan dan Rusia dengan beberapa wilayah di dalam Ukraina, Presiden Xi sepertinya masih memiliki banyak waktu dan pilihan untuk mencari bentuk terbaiknya menjadikan Taiwan sebagai takdir China, tanpa meniadakan pilihan China untuk kembali fokus membangun perekonomiannya. Sedangkan bagi Presiden Putin sepertinya pilihan dan waktu yang ada sangat terbatas dan jalan yang dihadapi sangat curam dan berbahaya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Megel Jekson