Jakarta, aktual.com – Beberapa tahun belakangan ini, kita sering mendengar istilah seperti Bitcoin, blockchain, atau aset kripto. Dulu, istilah-istilah ini mungkin terdengar seperti hal teknis yang hanya dipahami oleh orang IT atau investor profesional.
Banyak orang mulai mencari alternatif: tempat menyimpan uang yang lebih aman, sistem transaksi yang lebih cepat, atau bahkan bentuk “uang baru” yang tidak diatur pemerintah. Untuk memahami fenomena ini lebih dalam, penting bagi kita mengenal apa sebenarnya aset kripto itu.
Secara sederhana, aset kripto atau cryptocurrency adalah bentuk uang digital yang dibuat untuk kebutuhan transaksi daring. Tidak seperti uang biasa yang dikeluarkan oleh bank sentral, aset kripto bersifat terdesentralisasi. Artinya, ia tidak dikelola oleh satu lembaga atau pemerintah mana pun, melainkan dijalankan lewat sistem komputer global yang saling terhubung melalui teknologi bernama blockchain.
Menariknya, sistem ini memungkinkan transaksi dilakukan langsung dari satu pengguna ke pengguna lain secara peer to peer, tanpa perlu lewat bank atau lembaga keuangan. Setiap transaksi akan tercatat secara permanen di jaringan global, dengan sistem keamanan berlapis yang dijalankan melalui kriptografi atau kode sandi rahasia.
Hal ini membuat aset kripto secara teori lebih transparan dan aman, meski di sisi lain juga menghadirkan berbagai tantangan baru, terutama soal pengawasan dan tanggung jawab hukum.
Kripto di Indonesia
Di Indonesia, posisi hukum kripto cukup jelas. Aset kripto tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, hanya rupiah yang boleh digunakan dalam transaksi di wilayah Indonesia.
Namun demikian, kripto tetap diperbolehkan sebagai bentuk investasi. Pemerintah bahkan telah menetapkan aset kripto sebagai komoditas digital yang dapat diperdagangkan di bursa berjangka. Hal ini ditegaskan melalui Surat Menko Perekonomian tahun 2018, serta diperkuat oleh Peraturan Bappebti Nomor 5 Tahun 2019. Artinya, masyarakat boleh berinvestasi dalam aset kripto, selama dilakukan melalui platform yang diatur dan diawasi secara resmi.
Di sisi lain, persoalan halal-haram aset kripto masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Dalam konteks ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan penggunaan cryptocurrency atau uang kripto sebagai mata uang. Keputusan itu diambil dalam Forum Ijtima Ulama yang digelar di Hotel Sultan, Kamis (11/11/2021).
Ketua MUI Asrorun Niam Soleh mengatakan, keputusan itu diambil dengan sejumlah alasan.
“Dari musyawarah yang sudah ditetapkan ada tiga diktum hukum, yang pertama penggunaan cryptocurrency sebagai mata uang hukumnya haram karena gharar, dharar, dan bertentangan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2019 dan Peraturan BI Nomor 17 Tahun 2015,” kata Asrorun dalam forum Ijtima Ulama.
Tiga diktum tersebut menyatakan bahwa: Pertama, penggunaan cryptocurrency sebagai mata uang hukumnya haram, karena mengandung gharar, dharar dan bertentangan dengan Undang-Undang nomor 7 tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia nomor 17 tahun 2015. Kedua, cryptocurrency sebagai komoditi/aset digital tidak sah diperjualbelikan karena mengandung gharar, dharar, qimar dan tidak memenuhi syarat sil’ah secara syar’i, yaitu: ada wujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, hak milik dan bisa diserahkan ke pembeli. Ketiga, cryptocurrency sebagai komoditi/aset yang memenuhi syarat sebagai sil’ah dan memiliki underlying serta memiliki manfaat yang jelas hukumnya sah untuk diperjualbelikan.
Sementara itu, pendekatan berbeda ditunjukkan oleh Malaysia. Negara tersebut secara resmi menjadi negara pertama di dunia yang membolehkan pembayaran zakat menggunakan aset digital, termasuk uang kripto.
CEO Pusat Pengumpulan Zakat Dewan Agama Islam Wilayah Federal (PPZ-MAIWP) Datuk Abdul Hakim Amir Osman mengatakan inisiatif ini bertujuan untuk mendidik umat Islam tentang kewajiban zakat mereka di era teknologi blockchain dan mata uang kripto.
Dikutip dari New Straits Times, upaya inovatif oleh PPZ-MAIWP ini merupakan inisiatif terbaru untuk menyederhanakan pembayaran zakat.
Data menunjukkan bahwa warga Malaysia dilaporkan memiliki aset digital senilai RM16 miliar, yang wajib dizakati. Banyak anak muda berusia 18 hingga 34 tahun atau sekitar 54,2% dari total investor terlibat dalam dunia kripto.
“Oleh karena itu, kami melihat ini sebagai sumber zakat baru, sumber kekayaan baru, terutama bagi generasi muda,” kata Datuk Abdul Hakim.
Ia menambahkan bahwa sidang ke-134 Komite Konsultatif Hukum Islam Wilayah Federal juga memutuskan bahwa mata uang digital adalah komoditas yang dapat diperdagangkan, dengan zakat bisnis ditetapkan pada tingkat 2,5%.
“Digitalisasi praktik keagamaan menunjukkan bahwa Islam terus berkembang dan beradaptasi dengan kebutuhan para pengikutnya yang terus berkembang,” katanya.
Namun, belakangan ini Indonesia mulai membuka peluang kolaborasi dengan pelaku global. Di sela-sela acara menghadiri kegiatan sebagai Panelis utama pada acara tahunan World Government Summit (WGS) di Dubai, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menerima kunjungan dari Presiden dan Chief Operating Officer (COO) Crypto.com, Eric Anziani pada Selasa (11/02/2025) lalu.
Pertemuan ini membahas potensi kolaborasi dan pengembangan sektor ekonomi digital, khususnya industri aset kripto dan blockchain di Indonesia, termasuk upaya Pemerintah Indonesia untuk terus mendorong inovasi teknologi dan memperkuat ekosistem digital.
Eric Anziani menyampaikan kesiapan pihak Crypto.com sebagai salah satu platform penyelenggara transaksi mata uang kripto terbesar di dunia untuk mendukung pengembangan ekosistem blockchain di Indonesia.
“Crypto.com melihat Indonesia sebagai pasar yang sangat strategis untuk ekspansi lebih lanjut. Kami sangat mendukung inisiatif Pemerintah Indonesia dalam menciptakan ekosistem yang mendukung inovasi, termasuk di sektor blockchain dan aset kripto,” ujar Eric.
Ia juga menekankan komitmen Crypto.com untuk berkolaborasi dengan Pemerintah Indonesia guna menghadirkan produk dan layanan yang dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan keuangan digital.
Menanggapi hal tersebut, Menko Airlangga menyampaikan bahwa industri kripto di Indonesia mengalami pertumbuhan yang signifikan dengan jumlah investor dan nilai transaksi yang besar. Sepanjang tahun 2024 industri aset kripto Indonesia mencatatkan total transaksi mencapai Rp650,61 triliun.
“Indonesia mencatat bahwa industri ini berkembang sangat cepat dengan nilai transaksi yang fantastis dan meningkat setiap tahunnya,” ujar Menko Airlangga.
Ia juga mengungkapkan bahwa Crypto.com dapat melakukan eksplorasi dukungan terhadap rencana Indonesia saat ini untuk menjadi hub infrastruktur digital yang mendukung iklim investasi dan mengembangkan pusat data yang ramah lingkungan dan berkelanjutan yang menggunakan green energy.
“Kami mengundang Crypto.com untuk terlibat dalam pengembangan industri ini di Indonesia, terutama dalam mengembangkan pusat data yang aman dan berkelanjutan,” lanjut Menko Airlangga.
Tantangan Kripto
Namun di balik peluang tersebut, tentu ada risiko yang tidak bisa diabaikan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengingatkan bahwa nilai aset kripto sangat fluktuatif dan tidak terkendali.
Harga bisa naik tajam lalu anjlok dalam waktu singkat, bahkan tanpa sebab yang jelas. Selain itu, OJK juga tidak memiliki wewenang untuk mengatur atau mengawasi sektor ini, sehingga siapa pun yang merugi dalam perdagangan kripto tidak akan mendapat perlindungan hukum seperti nasabah bank. Risiko ini penting dipahami, terutama bagi masyarakat yang tertarik menaruh dana dalam jumlah besar.
Selain risiko investasi, keamanan digital juga menjadi perhatian serius. Dikutip dari Reuters, pada pertengahan Juni 2025 lalu, bursa kripto terbesar di Iran, Nobitex, diretas dan kehilangan dana senilai hampir $90 juta (sekitar Rp1,4 triliun). Peretasan ini bukan sekadar pencurian, melainkan diyakini sebagai serangan politik.
Kelompok siber pro-Israel bernama “Predatory Sparrow” mengklaim bertanggung jawab, menyebarkan pesan anti-pemerintah, bahkan mengaitkan aksinya dengan konflik geopolitik antara Iran dan Israel.
Hal ini menunjukkan bahwa infrastruktur kripto kini telah menjadi medan baru dalam perang digital antarnegara. Bahkan platform dengan pasar regional pun dapat menjadi target strategis karena dinilai punya keterkaitan dengan aktor-aktor politik besar.
Kasus Nobitex menjadi peringatan bahwa meskipun kripto dibangun atas nama kebebasan dan desentralisasi, sistem ini tetap rentan terhadap serangan dan penyalahgunaan. Dunia maya, seperti dunia nyata, tidak bebas dari konflik dan kepentingan tersembunyi. Maka penting bagi siapa pun yang terlibat di dalamnya untuk tidak hanya paham teknologinya, tetapi juga risiko yang mengintai.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















