Jakarta, Aktual.com – Delegasi Indonesia pada pertemuan Ulasan Kebijakan Perdagangan (Trade Policy Review/TPR) ke-13 terhadap Uni Eropa di World Trade Organization (WTO) mempermasalahkan kebijakan Uni Eropa yang menghambat ekspor produk-produk asal Indonesia, terutama produk sawit.

Proses TPR Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) itu berlangsung di Jenewa, Swiss pada Rabu (5/7), seperti disampaikan Perwakilan Tetap RI di Jenewa dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Kamis (6/7).

Pada kesempatan itu, Delegasi Indonesia meminta Uni Eropa untuk memperhatikan peningkatan hambatan perdagangan yang diterapkan terhadap produk impor dari Indonesia, khususnya kelapa sawit.

“Indonesia adalah pemasok terbesar minyak sawit untuk Uni Eropa, dan oleh karenanya sangat menyesalkan terjadinya peningkatan hambatan perdagangan terhadap ekspor minyak sawit Indonesia ke Uni Eropa,” ujar Staf Ahli Bidang Hubungan Internasional Kementerian Perdagangan, Dody Edward, kepada delegasi Uni Eropa.

Delegasi Indonesia juga menyampaikan keprihatinan terhadap Resolusi Sawit dan Deforestasi (Resolution on Palm Oil and Deforestation of Rainforest) yang disetujui oleh Parlemen Eropa pada April 2017, yang mendiskriminasi produk minyak sawit dengan produk minyak nabati lainnya.

“Resolusi tersebut tidak tepat, dan Uni Eropa perlu mengakui upaya keras Pemerintah Indonesia dalam pengelolaan dan mempromosikan produksi minyak sawit yang berkelanjutan,” kata Dody.

Menanggapi hal itu, delegasi Uni Eropa menyampaikan bahwa resolusi Parlemen Eropa tersebut tidak mengikat terhadap badan eksekutif Komisi Eropa, dan secara hukum tidak mengharuskan Komisi Eropa untuk menindaklanjutinya dengan perumusan suatu produk hukum yang mengikat.

Namun, delegasi Indonesia menyampaikan pandangan bahwa resolusi tersebut semakin mempertegas kampanye negatif terhadap minyak sawit di pasar Uni Eropa.

Indonesia juga mempertanyakan beberapa hambatan non-tarif lain yang diterapkan oleh Uni Eropa yang berpotensi menghambat akses pasar bagi komoditas ekspor Indonesia, diantaranya ambang batas zat anthraquinnone pada teh; labelling pada produk susu, daging, dan produk derivatifnya; ambang batas kandungan zat 3 MCPD pada minyak nabati, termasuk pada minyak sawit yang dipandang sebagai karsinogenik, ambang batas zat Aflatoxine pada komoditas pala.

Pemerintah Indonesia mengajukan keberatan atas standar produk yang diterapkan Eni Eropa tersebut, karena terdapat diskrepansi antara batas yang diterapkan oleh Uni Eropa dengan batas yang diterapkan oleh badan standardisasi internasional, Codex Alimentarius Commission.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan