Petani memetik bunga tembakau sebagai salah satu bentuk perawatan di kawasan Margoagung, Seyegan, Sleman, Yogyakarta, Senin (2/11). Petani mengaku saat ini harga tembakau turun dibanding panen sebelumnya dari Rp 170.000 menjadi Rp 150.000 per kg menyusul permintaan dari perusahaan rokok yang berbanding terbalik dengan melimpahnya hasil panen. ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/pd/15.

Jakarta, Aktual.com —  Kinerja Industri Hasil Tembakau (IHT) tetap berkilau di tengah kelesuan ekonomi dan maraknya PHK di berbagai sektor industri. Riset yang dilakukan Ernst and Young bebeberapa waktu lalu menyebutkan, saat ini ada 5,98 juta orang terlibat secara langsung dan tidak langsung di Industri rokok.

Riset tersebut juga menyebut, total pekerja yang terlibat di industri rokok tumbuh sebesar 60 ribu pekerja dari 5,92 juta pekerja di tahun 2009 menjadi 5,98 juta orang di 2014. Selanjutnya, diperkirakan 2,1 juta anggota rumah tangga yang menggantungkan hidup pada pertanian cengkeh. Selain itu, perkebunan cengkeh juga menyerap lebih dari 1 juta petani cengkeh dengan total nilai industri cengkeh di kisaran lebih dari Rp20 triliun.

Analis Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng menilai, survei itu memberi bukti bahwa IHT tetap solid di tengah perlambatan ekonomi.

“IHT relatif kuat karena terintegrasi dan tidak banyak bergantung terhadap bahan baku impor. Walaupun ada komposisi impor, namun bahan baku lokal tetap sangat besar,” ujar Daeng, saat dihubungi wartawan, Rabu (9/2).

Daeng menjelaskan, saat ini banyaknya perusahaan ambruk lebih karena masalah nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Itu lantaran kondisi bahan baku impor yang mencapai 70% sehingga membebani keuangan.

“Berbeda dengan rokok walaupun terjadi perlambatan ekonomi, tapi orang mengonsumsi produk ini sehingga relatif stabil saja, efek pelemahan tidak berdampak signifikan,” tegas Daeng.

Daeng menyebut, dari sisi revenue IHT mencapai Rp540 triliun maka tak heran kontribusi cukai juga bisa mencapai Rp140 triliun, jauh melampaui kontribusi sektor migas yang hanya puluhan triliun. Apalagi saat ini dengan dengan harga minyak makin anjlok maka kontribusi ke negara juga makin menciut.

Daeng melihat pemerintah memang tidak pernah mau perduli dengan pengembangan IHT. Pemerintah hanya menginginkan dari sisi kontribusi ekonominya semata.

“Pemerintah tidak mengurus masalah IHT, yang diurusin uangnya saja. Pemerintah tidak urus pertanian tembakau, tidak urus perdagangan tembakau, hingga peningkatan kapasitas petani,” tandas Daeng.

Menurut Daeng, saat ini merupakan era industri rokok dan petani tembakau harus diberi penghormatan. Sejatinya, mereka inilah yang membuat Presiden Jokowi bertahan dan pemerintah punya uang dari kontribusi cukai yang besar.

“Ternyata sektor tembakau yang membuat Presiden Jokowi bisa duduk di istana. Kalau tidak ada IHT dan petani pemerintah sudah tidak bisa ngapa-ngapain, kalau surat utang pemerintah tidak laku, mungkin ekonomi indonesia ibaratnya tinggal celana kolor,” tandas Daeng.

Daeng melihat, misalkan ketika harga BBM naik, juga tidak terlalu banyak menghantam ke IHT. Juga ketika terjadi depresiasi rupiah, juga tidak berdampak signifikan seperti ke IHT karena bahan baku lokal masih sangat besar.

“Masalah moneter dengan depresiasi rupiah, industri ambruk karena bahan baku impor, langsung kena,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka