Senada itu, Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi di kesempatan berbeda menilai hal sama. Dia mengatakan, selama ini bea cukai secara kelembagaan paling banyak kewenangannya. Di sisi lain, dari segi penerimaan negara atau pemasukan negara, institusi ini berperan besar dalam hal ekspor-impor, termasuk jalur laut.
“Jadi gak salah bila telunjuk menuding bea cukai terkesan itu (diam),” kata Siswanto.
Sebetulnya, lanjut Siswanto, pemerintah melalui kementerian keuangan sudah memiliki Lembaga National Single Windows (LNSW) yang bertugas melakukan pengelolaan Indonesia National Single Window (INSW) dan penyelenggaraan sistem LNSW.
Hanya saja ini belum maksimal, karena masalah tidak seluruh instansi bergabung di LNSW.
Proses pengiriman dan penerimaan barang ekspor dan impor, misalnya, kemudian masalah kepastian dokumen dan lamanya dwelling time, bukan hanya Bea dan Cukai. Ada banyak stakeholders terkait di sana, seperti pihak perhubungan laut, Bakamla, ekspedisi, kepolisian, administratif pelabuhan, Kemendag dan Kemenperin. Namun sejauh ini, Dirjen Bea dan Cukai justru “diam” mengenai hal tersebut.
Di bea dan cukai sendiri, kata Siswanto, pihaknya melihat masih banyak sekali deskresi-deskresi para pegawai di lapangan. Dalam kasus yang diusut kejaksaan Agung, lanjut dia, hal ini yang mungkin menjadi fokus pengusutan.
“Ini yang membuat praktik korupsi, pungli masuk. Ada deskresi pegawai-pegawai. Misal ada kasus ada denda bila begini, kalau ada denda seperti itu di tataran pegawai kan ada celah negosiasi, dan sangat memicu terjadi transaksi-transksi gelap,” ujarnya.
Kendati begitu, seharusnya yang lebih penting justru dirjen bea dan cukai membenahi tata kelola di lapangan, sehingga tidak selalu terjadi hal-hal semacam itu. Ke depan, harap Siswanto, dirjen bea dan cukai bisa diemban orang-orang yang cakap dalam menciptakan yurisprudensi baru yang semakin baik.
“Memang dibutuhkan kepiawaian seorang Dirjen. Harus mencari celah hukumnya. Memang kami melihat kepiawaian dirjen dalam persoalan ini minim ya. Apa ya bahasanya, Ijtihad-nya (usaha yang sunguh-sungguh) tidak ada. Dia selama ini terlalu berpaku kepada aturan formal. Padahal aturan yang ada sendiri tidak bisa (mengatasi itu),” imbuhnya.
Terpisah, Wakil Ketua Ombudsman RI Bobby Hamzar Rafinus menuturkan bahwa persoalan pelabuhan banyak melibatkan banyak lembaga. Kordinasi antar lembaga ini yang perlu dibenahi.
“Bahwa banyak lembaga yang mengelola pelabuhan sehingga koordinasi menjadi problem,” ujarnya.
Meskipun belum ada laporan masyarakat terkait masalah pelabuhan ini yang masuk ke ORI, tekan Bobby pihaknya bakal mempersiapkan investigasi dalam semester ini.
“Seingat saya, beberapa Dirjen Bea dan Cukai yang terdahulu sudah pernah menyampaikan posisi ditjen bea dan cukai yang hanya merupakan salah satu lembaga yang bertugas di pelabuhan, khusus terkait bea masuk barang impor. Dalam organisasi pengelolaan pelabuhan terkini, kiranya PT Pelindo (holding) perlu mengambil peran sebagai koordinator dalam memastikan tata kelola dan efisiensi pelabuhan yang dikelolanya semakin baik,” pungkasnya.**
Artikel ini ditulis oleh:
Nurman Abdul Rahman
















