Jakarta, Aktual.com – Sejumlah lembaga swadaya masyarakat menyambut baik dan ikut membahas Rancangan Undang-undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Pembudi Daya Ikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di Komisi IV DPR.
Sekretaris Jenderal Koalisi untuk Hak Nelayan dan Masyarakat Pedesaan Pesisir (KIARA) Abdul Halim mengatakan ini momentum baik bagi negara untuk mengakui dan memuliakan pahlawan protein sekaligus produsen pangan bagi kebutuhan nasional yakni nelayan, perempuan nelayan, pembudi daya, dan petambak garam.
Selama ini, pekerjaan sebagai nelayan banyak diabaikan. Bertolak dari draf Naskah Akademik dan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Pembudi Daya Ikan yang disiapkan oleh Sekretariat Jenderal DPR per 1 Juni 2015, mulai terlihat jelas upaya menghadirkan negara untuk melindungi dan menyejahterakan para pahlawan ini.
Dalam RDPU, KIARA yang tergabung di dalam Koalisi untuk Hak Nelayan dan Masyarakat Pedesaan Pesisir, ia mengatakan telah menyampaikan bahwa RUU ini merupakan tantangan pemerintah untuk menghapus tiga salah persepsi yang dialamatkan kepada nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya, dan petambak garam.
Pertama, menurut dia, dalam tingkatan pendapatan, nelayan bukanlah yang termiskin (the poorest of the poor). Fakta yang terpampang jelas adalah absennya negara dalam memastikan pelayanan hak-hak dasar dan program peningkatan kesejahteraan nelayan tepat sasaran sehingga tengkulak (middle man) memanfaatkan peluang ini.
Alhasil, ia mengatakan prinsip survival of the fittest berlaku di perkampungan nelayan.
Kedua, lanjutnya, kerentanan nelayan semakin besar akibat ketidakpastian sistem produksi (melaut, mengolah hasil tangkapan, dan memasarkannya) dan perlindungan terhadap wilayah tangkapnya. Menteri Kelautan danPerikanan dimandatkan oleh Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan untuk menjalankan usaha perikanan dalam sistem bisnis perikanan, meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran di Indonesia.
Ketidakmampuan pemangku kebijakan mengejawantahkan mandat UU inilah yang berujung pada tingginya resiko kegagalan ekonomi, kebijakan dan institusi masyarakat nelayan.
Ketiga, Halim mengatakan marjinalisasi sosial dan politik oleh kekuasaan berimbas kepada minimnya akses masyarakat nelayan terhadap pelayanan hak-hak dasar, misalnya kesehatan, pendidikan, akses air bersih, sanitasi, dan pemberdayaan ekonomi.
“Tiga salah persepsi di atas adalah pekerjaan rumah pemerintah bekerja sama dengan masyarakat kelautan dan perikanan skala kecil untuk diselesaikan. Tanpa dilatari spirit untuk mengakui dan memuliakan pahlawan protein sekaligus produsen pangan tersebut, RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan hanya akan menjadi lembaran negara tanpa meninggalkan jejak kesejahteraan di 10.666 desa pesisir,” ujar Halim, di Jakarta, Rabu (17/6).
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia (SNI) Budi Laksana mengatakan RUU ini harus melihat kekhususan hak yang dimiliki oleh nelayan, baik sebagai warga negara maupun pelaku perikanan skala kecil.
Jika hal ini terumuskan dengan baik, maka UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan akan menjadi pintu masuk sejarah Indonesia dalam upaya mengakui dan menyejahterakan nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya dan petambak garam, ujar dia.
Sedikitnya 2,2 juta jiwa nelayan yang bergerak di sektor perikanan tangkap, 3,5 juta jiwa pembudidaya, perempuan nelayan dan petambak garam menyambut positif dimulainya pembahasan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan yang menjadi inisiatif DPR.
Artikel ini ditulis oleh: