Jakarta, Aktual.co — Di balik Kisruh Polri-KPK, ternyata terdapat warisan Megaproyek IDD Chevron warisan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang tengah bergerilya mencari persetujuan para petinggi negara. Sebelumnya, Mantan pelaksana Tugas Kepala SKK Migas J Widjonarko mengatakan, proyek dengan nilai investasi USD12 miliar tersebut sebelumnya direncanakan berproduksi 2018, namun diperkirakan mundur dua tahun menjadi 2020. SKK Migas yang menangani perizinan kontrak IDD Chevron menyatakan bahwa proses perizinan IDD Chevron masih dalam proses.

“Diskusi teknis mengenai revisi POD sudah berjalan pararel dengan finalisasi penyiapan usulan formal revisi POD,” ujar Kepala Humas SKK Migas, Rudianto Rimbono kepada Aktual, Rabu (4/3).

Untuk diketahui, ada beberapa tahapan perizinan yang perlu dilakukan untuk mendapatkan izin Migas. Tahap I yaitu KKS mengajukan Work Program and Budgeting (WP&B) yaitu Rencana Kerja & Anggaran. Sedangkan Tahap II, setelah kegiatan eksplorasi Migas berhasil menemukan cadangan migas, maka K3S kembali mengajukan permohonan Rencana Pengembangan Lapangan (atau yang lazim disebut Plan Of Development/POD). SKK Migas akan melakukan evaluasi terhadap rencana pengembangan lapangan (POD) yang selanjutnya memberikan rekomendasi untuk mendapatkan persetujuan Menteri ESDM.

Isi dari POD mencakup, studi-studi G&G (geologi, geofisika dan reservoir) yang dibutuhkan, rencana pengembangan sumur-sumur produksi, kegiatan akuisisi 3D Seismik,    Pembuatan fasilitas-fasilitas produksi, Supporting services (kapal, kendaraan, outsourcing man power) dan Maintenance sumur-sumur&peralatan. Untuk kasus IDD Chevron, ada fakta pembengkakan anggaran yang awalnya USD6,9 miliar kemudian membengkak jadi USD12 miliar. Namun, terkait total biaya POD yang bakal dibebankan, SKK migas mengungkapkan masih membahas hal tersebut.

“Total biaya POD masih dalam pembahasan. Diskusi pendahuluan sudah dimulai sejak 1-2 bulan lalu. Sedangkan usulan revisi POD masih belum di submit Chevron,” pungkasnya.

Sebagai informasi, PT Chevron Pasifik Indonesia sudah memegang proyek IDD sejak 2008. Proyek ini menggabungkan empat kontrak kerja sama yaitu Ganal, Rapak, Makassar Strait, dan Muara Bakau. Dalam keempat konsesi tersebut terdapat 5 lapangan yaitu: Lapangan Bangka, Gehem, Gendalo, Maha dan Gandang. Lapangan Bangka akan beroperasi terlebih dahulu pada 2016. Sementara untuk Gendalo dan Gehem akan beroperasi setelah Bangka, berturut-turut pada 2017 dan 2018.

Menurut Pengamat geopolitik-Energi Hendrajit, kerja sama tersebut sangat merugikan kepentingan nasional Indonesia.

“Data yang saya peroleh, 25 persen total produksi Proyek IDD dialokasikan untuk dalam negeri, sedangkan sisanya yang 75 persen untuk Chevron,” ujar dia.

Indonesia akan dapat jatah gas berupa gas alam cair sebanyak 179 kargo dengan rincian sebagai berikut, untuk FSRU Jawa Barat 53 kargo (2018-2021), Terminal Arun 20 kargo (2017-2021), FSRU Lampung 37 kargo (2016-2018), FSRU Banten 30 kargo (2016-2018), FSRU Jawa Tengah 39 kargo (2016-2021).

Ia menjelaskan, masalah jadi runyam ketika megaproyek ini terganjal kasus perpanjangan kontrak di Blok Makasar Strait yang habis pada 2020.

“Setidaknya ada dua indikasi yang memperkuat dugaan ini. Pertama, pernyataan ganjil dan misterius Menko Ekonomi Chairul Tanjung yang mengaitkan jaminannya untuk memperpanjang kontrak IDD Chevron di Blok Makasar Straint dengan sikap KPK dan Kementerian ESDM. Kedua, terkait fakta adanya pembengkakan anggaran proyek IDD yang awalnya USD6,9 miliar, kemudian membengkak jadi USD12 miliar,” tutupnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka