Jakarta, Aktual.com – Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menggelar sidang perdana gugatan Tindakan Administratif Pemerintah/Tindakan Faktual terkait Proses Seleksi Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) periode 2024-2028.
Sidang dengan nomor perkara 433/G/TF/2024/PTUN.JKT dengan Penggugat Calon Komisioner Kompolnas Nur Setia Alam Prawiranegara melawan Tergugat 1 Panitia Seleksi (Pansel) Kompolnas periode 2024-2028 dan Tergugat 2 Presiden Republik Indonesia.
“Kami melakukan gugatan ini karena klien kami Nur Setia Alam Prawiranegara diberlakukan secara tidak adil dalam proses seleksi Komisioner Kompolnas 2024-2028,” ujar Kuasa Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Bogor Raya (LBH KBR), Greg Djako usai sidang di PTUN Jakarta, Rabu (13/11).
Greg menuturkan bahwa Pansel Kompolnas tidak melakukan klarifikasi atas apa yang mereka tuduhkan kepada kliennya serta tidak memberikan penjelasan apapun terhadap kliennya.
“Terkait tuduhan kliennya terlibat atau terafiliasi dengan tindakan yang menurut Kompolnas yaitu tindakan mengikuti salah satu akun sosial media yang diduga akunnya Ustadz Abdul Somad (UAS) serta mengaitkannya dengan ormas terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),” jelas Greg.
Greg menambahkan kliennya sudah mengkonfirmasi mendatangi langsung kepada Badan Nasional Penaggulangan Terorisn (BNPT), dan BNPT memastikan kliennya bersih clear and clean dari tuduhan terafiliasi itu.
“Tuduhan itu tidak dilakukan klarifikasi, tetapi malah digugurkan peserta yang adalah klien kami digugurkan sebelum tahapan wawancara,” jelasnya lagi.
Kuasa hukum penggugat lainnya, Firmansyah menambahkan objek gugatan kliennya adalah perbuatan omission yang dilakukan oleh Pansel Kompolnas, yakni suatu perbuatan yang seharusnya dilakukan klarifikasi kepada kliennya atas sangkaan yang diberikan, tetapi malah tidak dilakukan.
“Ini dimaksudkan untuk memperjelas, ketika ada upaya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat, maka hasil proses seleksi yang mereka lakukan tidak sesuai prosedural dan berdampak terhadap hasil seleksi itu,” tambah Firman.
Penggugat Nur Setia Alam ikut menambahkan bahwa dia merasakan ketidakprofesionalan yang dilakukan Pansel Kompolnas periode 2024-2028.
“Catatan BNPT adalah hipotesa beberapa calon Kompolnas tidak hanya saya sendiri yang terafiliasi dengan akun teroris yang seharusnya dilakukan klarifikasi oleh Pansel. Saya menduga karena Pansel Kompolnas tidak mampu menggeser saya dengan cara GCG (Good Corporate Governance) tetapi malah menjadikan catatan prematur BNPT dengan alasan rahasia negara dan mengakibatkan penilaian buruk kepada saya,” tegas Penggugat.
Menurutnya catatan Pansel akan dilampirkan kepada Presiden Republik Indonesia, dan itu berbahaya baginya karena seumur hidup akan diletakkan catatan hitam, tanpa mereka sadari bahwa mereka telah melakukan perbuatan melawan hukum secara nista.
“Saya dianggap radikal dan teroris, karena saya diberikan catatan seperti itu padahal BNPT secara jelas sudah melakukan klarifikasi dan ada videonya wawancara dengan saya mereka sudah mengetahui bahwa saya tidak terafiliasi dengan kaum radikal apapun,” tegasnya lagi.
Karena menurut Penggugat catatan hitam yang melekat kepadanya seumur hidup tidak hanya kepada dirinya, tetapi juga kepada keluarganya. Gugatan ini harus mereka Pansel Kompolnas pertanggungjawabkan dunia-akhirat.
“Saya gak masalah kalau tidak jadi Kompolnas, buat saya itu adalah pengabdian. Saya pernah membantu BNPT dua tahun tanpa digaji. Mereka Pansel Kompolnas malah sewenang-wenang. Kami berharap majelis hakim bisa memberikan keadilan seadil-adilnya,” tambah Nur.
Kuasa hukum Tergugat, Sonny W Warsito mengatakan orang-orang yang ada di Pansel Kompolnas adalah mereka yang memiliki integritas dan intelektual yang mumpuni dan proses seleksi Kompolnas sudah sesuai peraturan Kepres yang berlaku.
“Yang dilakukan oleh penggugat adalah hak setiap warga negara menurut saya boleh-boleh saja sesuai hukum yang berlaku,” jelasnya singkat.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan