Jejaring internasional
Kalau dipikir-pikir, apa urusannya mereka bertemu RR yang ‘bukan siapa-siapa’ lagi. Mantan penasehat ekonomi Perserikatan Bangsa Bangsa bersama dua pemenang nobel ekonomi ini kini bukanlah pejabat negara. Dia juga tidak menyandang posisi di satu pun organisasi pelat merah yang dibiayai APBN. Seperti kita ketahui, Indonesia punya banyak lembaga berjudul dewan dan komisi ini itu.
Kemampuan membangun dan memelihara hubungan internasional sangat dibutuhkan seorang pemimpin. Kelebihan ini akan melengkapi kapasitas dan kapabilitas pemimpin dalam memecahkan masalah yang dihadapi negerinya. Di samping, tentu aja, si pemimpin harus punya integritas dan rekam jejak yang teruji.
Sayangnya, publik kita sering abai dengan sejumlah persyaratan ini. Rakyat gampang tersihir oleh tampilan luar. Kekaguman makin menjadi bila yang bersangkutan dipoles dengan pencitraan dan publisitas dari media mainstream.
Kombinasi antara pencitraan dan polesan media sanggup menyulap orang yang sejatinya kualitasnya di bawah banderol menjadi pahlawan super. Apalagi bila ditambah dengan guyuran pujian dan penghargaan dari komunits neolib dam kapitalis, maka sosoknya kian moncer saja. Namun saat berhadapan dengan berbagai persoalan, terbukti bahwa yang bersangkutan hanyalah tokoh karbitan belaka.
Persoalan utama Indonesia hari ini adalah ekonomi. Pertumbuhan terperangkap di kisaran 5%. Kinerja ekspor standar-standar saja. Terjadi deindustrialisasi yang berdampak pada terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Daya beli masyarakat jatuh. Impor produk pangan merajalela menghancurkan petani lokal, dan seabrek persoalan lainnya.
Indonesia jelas membutuhkan sosok yang paham dan mampu memecahkan persoalan ekonomi. Bukan tokoh yang bersinar karena pencitraan dan polesan media. Bukan pula tokoh yang sibuk menimbun utang-utang berbunga supertinggi. Bukan pejabat yang hobi mengintip pundi-pundi rakyat kecil untuk dibebani aneka pajak. Dan, atas semua itu, Indonesia sama sekali tidak butuh pejabat yang berpaham neolib serta setia berhamba kepada majikan aseng dan atau asing! Singkat kata, Indonesia butuh pemimpin berkualitas global, bukan gombal. (*)
Oleh: Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)