Labuan Bajo, Aktual.com – Rencana Pemerintahan Jokowi melalui Badan Pelaksana Otorita (BPO) Labuan Bajo – Flores yang tertuang dalam Kepres No.32 tahu 2018 untuk membangun fasilitas pariwisata berupa resort hingga hotel mewah di lahan seluas 400 hektare di wilayah Hutan Bowosie, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) ditolak warga.
Kawasan pariwisata mewah itu akan dibangun di Desa Gorontalo, Desa Golo Bilas, dan Kelurahan Waekelambu, Kecamatan Komodo.
Warga menolak rencana pembangunan fasilitas pariwisata mewah itu karena diduga mencaplok lahan garapan warga. Hal itu disampaikan warga adat Lancang, Kelurahan Wae Kelambu, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) atas tindakan Badan Pelaksana Otorita (BPO) Labuan Bajo – Flores dan Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) kepada Bupati Mabar Edistasius Endi dan anggota DPRD pada Senin (17/5).
Warga mengadukan dua lembaga tersebut kepada Bupati Manggarai Barat dan DPRD, karena sebagian besar lahan garapan mereka dicaplok menjadi kawasan hutan. Warga menilai, Dinas Kehutanan menyerahkan lahan garapan warga kepada BPO Labuan Bajo Flores untuk dijadikan destinasi parwisata mahal.
“Menolak dengan tegas peta kawasan yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan dan peta yang dikeluarkan oleh Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores,” demikian bunyi pernyataan sikap yang dibacakan Dami Odos, perwakilan warga adat Lancang di hadapan Bupati Edistasius Endi di Kantor Bupati Mabar.
Selain Dami Odos, hadir juga dalam pertemuan itu Tua Golo (Kepala Kampung) Lancang, Theodorus Urus dan semua pemilik lahan, Direktur Destinasi BPO Labuan Bajo Flores, Konstan dan dua rekannya, Kepala UPTD Kehutanan Mabar, Stefan Naftali, Sekda Mabar, Frans Sodo, dan Kepala PLN UPL Labuan Bajo, Ambara.
Dami meminta Pemda Mabar agar mendesak Dinas Kehutanan Pemprov NTT dan BPO Labuan Bajo Flores membatalkan peta yang melewati lahan garapan warga. Di atas lahan tersebut sudah ada bangunan rumah dari warga masyarakat Lancang, berbagai jenis tanaman serta mata air.
“Lahan tersebut merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat Lancang, Raba dan Wae Bo. Kami meminta Pemda Mabar agar mendesak Dinas Kehutanan untuk membatalkan SK Kehutanan Tahun 2016 dan mengembalikan batas Pal yang pilarnya masih di lokasi hutan berjarak sekitar 60 meter dari batas tanah garapan masyarakat,” ujarnya.
Menanggapi laporan masyarakat tersebut, Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi meminta UPTD Kehutanan dan BPO Labuan Bajo Flores untuk segera menyelesaikan masalah tersebut. Menurut Edi, substansi kehadiran BPOLBF adalah untuk membuat masyarakat sejahtera.
“Bukan mencaplok lahan yang selama ini digarap masyarakat, bukan itu substansi kehadirannya tetapi bagaimana supaya masyarakat lebih sejahtera,” tegas Bupati Endi.
Ia menyampaikan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) pernah mengeluarkan sertifikat atas beberapa bidang lahan di wilayah yang diklaim BPO dan Kehutanan tersebut.
“Di satu sisi BPN pernah keluarkan sertifikat yang notabene kalau lihat, Pal masih sangat jauh ke belakang. Kalau tiba-tiba BPOLBF menguasai itu, masyarakat mau dibuang ke mana? Apa gunanya pembangunan kalau masyarakat disingkirkan dari ruang di mana mereka hidup. Begitu BPOLBF. Bukan datang mencaplok wilayah yang selama ini milik masyarakat, termasuk Wae Teku (mata air) masuk di dalam lahan BPOLBF. Mau jadi apa daerah ini?” ungkap Bupati Endi.
Ia meminta UPTD Kehutanan untuk secepatnya menyelesaikan masalah tersebut.
“”Tolong tunjukan di mana batas yang benar Pal ini, supaya masyarakat jangan dibuat seperti kelinci percobaan. Cepat di-clear-kan supaya masyarakat tidak cemas dan putus asa. Stabilitas tidak terkendali. Kita harus memastikan, kehadiran siapun stabilitas daerah ini terjamin,” ujarnya.
Ia juga meminta BPO Labuan Bajo Flores menghentikan aktivitas di atas lahan tersebut.
“Teman-teman BOP, tolong aktivitasnya dihentikan dulu di daerah Lancang supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan,” katanya.
Ketua DPRD Mabar, Martinus Mitar menjanjikan untuk menggelar rapat dengar pendapat di DPRD Mabar dengan menghadirkan UPTD Kehutanan dan BPO Labuan Bajo Flores.
“BPO Labuan Bajo Flores itu bukan lembaga yang lebih besar. Bukan lembaga yang ditakuti,” katanya.
UPTD Kehutanan Mabar, Stefan Naftali menyampaikan bahwa persoalan tersebut sudah terjadi sejak tahun 2020. Menurutnya, terdapat beberapa bagian lahan, termasuk lahan warga Lancang yang masuk dalam versi peta kawasan hutan Surat Keputusan (SK) No 357 Tahun 2016.
“Tahun lalu kita sudah fasilitasi warga Lancang untuk meluruskan itu. Garis seharusnya mengikuti tata batas tahun 1993-1997. Ada beberapa tempat yang sesuai. Pilarnya di tempat lain, garis petanya di tempat lain. Kami sudah sampaikan ke Dinas Kehutanan Provinsi,” kata Naftali.
Ia menjelaskan, hasil penelusuran pada tahun 2020 sudah dilaporkan ke Dinas Kehutanan Provinsi, supaya tidak ada kekeliruan dalam pemetaannya.
Direktur Destinasi BPO Labuan Bajo Flores, Konstan Mardinandus Nadus mengaku belum banyak memahami masalah tersebut.
“Saya belum bisa menjawab banyak hal. Jangan cemas,” ujarnya.
Penolakan warga terhadap peta Dinas Kehutanan dan BPO Labuan Bajo Flores karena warga adat Lancang, Wae Bo dan Raba telah menguasai lahan tersebut sejak tahun 1972.
(Florianus Jefrinus Dain)
Artikel ini ditulis oleh:
Dewan Redaksi