Jakarta, Aktual.com – Diduga kuat ada transaksi politik di balik proses pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (raperda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).
“Sangat mungkin di belakang layar ada transaksi-transaksi yang terjadi,” kata pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Tigor Hutapea, kepada Aktual.com, Kamis (25/2).
Kecurigaan dia mencuat, lantaran reklamasi Teluk Jakarta seperti menjadi bentuk ketidakpedulian pemerintah pada kepentingan nelayan. “Pemerintah lebih memperhatikan kepentingan pengusaha yang ingin membangun pulau dan pemukiman bagi kalangan yang cukup uang,” kata dia.
Hal dibuktikan dengan izin yang diberikan oleh para pengembang untuk membangun 17 pulau di Teluk Jakarta yang akan berimbas pada hilangnya pendapatan nelayan.
Lanjut Tigor, dalam perumusan raperda sendiri memiliki beberapa permasalahan. Di mana dalam perumusan aturan itu, nelayan yang terdampak langsung justru tidak dilibatkan. Padahal, nelayan punya kepentingan langsung terhadap daerah pesisir.
“Karena tidak ada konsultasi publik dan juga sosialisasi. Jadi, kita pikir prosesnya bermasalah,” sambungnya.
Sebelumnya, Kepala Bidang Pengembang Hukum dan Pembelaan Nelayan KNTI Martin Hadiwinata juga sudah mengingatkan DPRD DKI agar tidak berlandaskan transaksi politik dengan menolak Raperda Zonasi.
Bila raperda itu ternyata jadi juga disahkan, Martin mengaku sudah siapkan ‘jurus’ lain. Yakni dengan melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Untuk mengusut dugaan politik transasksional dalam pembahasan dua raperda itu. “Sejak awal proyek reklamasi sarat akan KKN,” kata dia.
Diketahui, para nelayan hari ini berunjuk rasa di DPRD DKI mendesak agar Raperda Zonasi tidak disahkan. Sebab bakal jadi payung hukum bagi megaproyek reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta. Sejauh ini, Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta juga sedang proses bertarung menggugat izin reklamasi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI.
Adapun yang digugat adalah izin pelaksanaan Pulau G (Pluit City dikembangkan PT Muara Wisesa Samudra), Pulau F (PT Jakarta Propertindo), Pulau I (PT Jaladri Kartika Eka Paksi), dan Pulay K ( PT Pembangunan Jaya Ancol).
Artikel ini ditulis oleh: