Semarang, Aktual.co — Para teroris yang menyerang Museum Bardo di kota Tunis, Tunisia, pekan lalu, ternyata mengenakan rompi bunuh diri. Meski begitu, mereka gagal meledakkan bom karena sebelumnya ditembak mati oleh aparat Kepolisian.
“Mereka tidak berhasil meledakkan bom, karena polisi muncul lebih dulu menembak mati mereka. Mereka tidak punya waktu untuk meledakkan rompinya. Kita tahu mereka akan meledakan di Museum, dan kita tahu bencana besar itu sebelumnya,” kata Presiden Tunisia, Beji Caid Essebsi kepada pewarta CNN, Christiane Amanpour.
Diberitakan sebelumnya, dua tersangka telah diidentifikasi identitasnya, yakni Yassine Labidi dan Saber Khachnaou. Meskipun identitas keduanya belum diketahui secara detail. Namun tidak jelas siapa para pelaku bersama rekannya yang tewas ditembak pasukan keamanan Tunisia di Museum tersebut.
Essebsi menyebutkan, sebagian besar korban di Museum merupakan warga negara asing (WNA), dan 19 orang diantaranya wisatawan yang berplesir di dua kapal pesiar yang berlabuh di Tunis.
Dia kembali mengatakan, pihaknya yakin bahwa para penyerang adalah anggota ISIS
yang telah dilatih di Libya. Hal ini tak jauh dari pernyataan yang disampaikan oleh Menteri Keamanan Tunisia, Rafik Chelly, Jumat lalu.
Dirinya mengungkapkan, dua penyerang telah diberi pelatihan senjata di kamp-kamp Libya serta dididik sejak dini.
Dalam pesan audio yang di-posting secara online, Kamis lalu, ISIS mengaku bertanggung jawab atas serangan tersebut.. Pesan itu mengatakan kelompok yang diisyaratkan menjadi target adalah para tentara salib dan murtad dengan senjata otomatis serta granat tangan.
Paman tersangka Yassine Labidi, Abeld Malik Labidi, mengatakan kepada CNN pada hari Jumat bahwa tidak ada orang yang secara pasti mengetahui serta melihat tanda-tanda ekstrimisme pada keponakannya sejak 26 tahun lalu.
Dia mengatakan, Yassine Labidi adalah salah satu dari dua pria bersenjata yang tewas di Museum.
“Memang benar bahwa Yassine melakukan serangan teroris tersebut ia ditembak di, kepalanya dan tubuhnya, kita tidak melihatnya lagi,” ceplosnya.
Tapi, kata ia, dirinya percaya bahwa Yassine dan pria muda lainnya seperti dia juga menjadi korban terorisme dari perekrut yang membayar mereka berupa uang, mengorganisir logistik dan membawa mereka ke tempat-tempat seperti Syria dan Libya untuk melatih sebagai pejuang.
Artikel ini ditulis oleh:

















