Ilustrasi orang tua dampingi anak belajar

Jakarta, Aktual.com – Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang telah diselenggarakan berbulan-bulan dinilai kurang efektif, membosankan, mengakibatkan siswa dan orang tua stres.

Namun untuk membuka kembali aktivitas sekolah untuk pembelajaran tatap muka juga bukan hal mudah. Rencana pembukaan sekolah telah menimbulkan ketakutan terjadi penularan virus corona (COVID-19).

Persoalan inilah yang mengemuka akhir-akhir ini. Banyak orang tua murid yang setuju, namun tak sedikit yang ragu-ragu dan menolak wacana dan rencana tersebut.

Orang tua yang setuju sekolah dibuka kembali karena stres harus menjadi guru pengganti di rumah. Belum lagi kalau dikaitkan dengan sarana dan prasarana pembelajaran, seperti telepon seluler, laptop, kuota data dan jaringan internet.

Dihitung-hitung biayanya lebih mahal. Itu semua menguras dompet dan kesabaran orang tua yang secara finansial “pas-pasan”.

Anaknya juga jenuh dan stres karena cara mengajari berbeda dengan guru di sekolah. Tidak semua orang tua bisa menggantikan peran sebagai guru sekalipun di rumah dan untuk satu-dua murid yang adalah anak sendiri.

Dari kenyataan itu, kini COVID-19 tampaknya menyadarkan kalangan orang betapa penting peran guru. Yang selama ini begitu mudah menyalahkan guru kini baru sadar betapa tidak gampang mengajari anak.

Memang PJJ memungkinkan guru (dari rumahnya) menghubungi anak-anak didiknya melalui aplikasi kemudian menyampaikan materi pelajaran, tetapi untuk mengerjakan “PR” atau tugas-tugas, orangtualah yang berperan dominan.

PJJ mengakibatkan anak manja, malas dan tidak mandiri.

Survei
Kondisi itu kemudian mendorong kalangan wali murid setuju dengan pembukaan kembali sekolah tatap muka. Tidak percaya?

Mari cermati survei yang dilakukan oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) DKI Jakarta. Survei dilakukan terhadap warga DKI Jakarta dan mendapatkan beberapa pendapat dari orang tua murid.

“Sebagian besar orang tua murid menyetujui rencana pembelajaran tatap muka di sekolah pada awal tahun 2021,” kata Ketua PGRI DKI Jakarta Adi Dasmin saat diskusi dialektika demokrasi di gedung DPR, Jakarta, Kamis (3/12).

Orang tua dari semua tingkatan sekolah di DKI Jakarta setuju dilakukan pembelajaran tatap muka. Alasannya, mereka tidak mampu lagi membimbing putra-putrinya di rumah.

Yang paling banyak setuju adalah orang tua dengan anak yang sekolah di tingkat sekolah dasar (SD). Sebagian besar orang tua sudah lupa materi pembelajaran di sekolah untuk membimbing anaknya di rumah.

Apalagi sekolah sekarang dengan Kurikulum 13 berbeda dengan materi pelajaran pernah dijalani dulu. Karena itulah, sebagian dari mereka menyuruh anaknya untuk cepat-cepat sekolah.

Selain itu, sebagian orang tua mengaku tidak menguasai teknologi dalam pembelajaran daring yang sudah dilakukan selama ini. Para orang tua merasa tidak mampu membimbing dan mengarahkan putra dan putrinya untuk belajar karena sarana-prasarananya tidak mencukupi.

Misalnya, orang tua, ada tiga anaknya yang bersekolah, sementara alat-alatnya tidak mencukupi, maka itu menjadi rebutan. Itu menimbulkan masalah; dari anak “berantem” berebut gawai hingga kuota data dan jaringan internet.

Banyak teman
Dengan kendala yang sangat luar biasa itu, membuat orang tua menyetujui agar anak-anaknya masuk sekolah, meski di tengah pandemi COVID-19.

Sebagian besar siswa di Jakarta juga menginginkan kembali pembelajaran tatap muka karena PJJ atau daring kurang maksimal. Dengan tatap muka, mereka dapat ingin menerima pembelajaran secara maksimal.

Alasan lain para siswa ingin masuk sekolah karena ingin dekat teman-temannya di sekolah, setelah beberapa bulan bersekolah lewat daring, tetapi tidak pernah mengenal lagi temannya.

Mereka yang belum pernah belajar tatap muka sejak tahun ajaran baru juga ingin mengenal guru, pegawai dan lingkungan sekolah. Bagi yang sudah biasa belajar tatap muka, pengalaman bermain dengan teman-temanya dalam suasana ceria dan penuh canda amat membekas.

Yang paling penting, mereka ingin pembelajaran praktikum untuk sekolah kejuruan serta sekolah umum seperti praktik di laboratorium. Selama PJJ, siswa sekolah kejuruan dan siswa jurusan IPA di SMA sama sekali tak bisa praktik.

Namun sebagian orang tua juga menyatakan keraguan untuk rencana pembelajaran tatap muka di sekolah. Hal itu berkaitan dengan penerapan protokol kesehatan saat pandemi COVID-19.

Saat para siswa istirahat atau keluar kelas sangat sulit diawasi. Apalagi mereka sudah lama tak bertemu dan sangat jenuh di rumah.

Dikaji
Bagaimana tanggapan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta terkait wacana dan rencana pembukaan kembali sekolah untuk pembelajaran tatap muka?

Sikap kehati-hatian tampak ditunjukkan Pemprov DKI Jakarta. Apalagi di Ibu Kota, virus corona masih berkecamuk.

Setiap hari ribuan orang diumumkan terdeteksi positif terpapar dari Wuhan (China) tersebut. Jumlah kasus positif pandemi COVID-19 di Jakarta mencapai 140.238 kasus, setelah terjadi pertambahan sebanyak 1.153 kasus, Kamis (3/12).

Bahkan Gubernur Anies Baswedan dan Wagub Ahmad Riza Patria termasuk orang yang terpapar COVID-19 berdasarkan tes usap. Keduanya penyintas tanpa gejala dan kini mengendalikan pemerintahan dari lokasi pengasingan (isolasi) mandiri.

Meski setiap hari ribuan orang terdeteksi terpapar, tetapi angka kesembuhan pasien dari paparan COVID-19 di Jakarta tergolong tinggi. Pada Kamis angka kesembuhan mencapai 127.136 orang atau sekitar 90,7 persen dari jumlah kasus positif sebanyak 140.238 kasus.

Sebanyak 10.368 orang masih dirawat/diisolasi. Kemudian 2.734 orang meninggal dunia atau senilai 1,9 persen dari total kasus positif.

Dalam perkembangan virus corona yang terus memakan korban itulah wacana dan rencana serta keleluasaan pembukaan sekolah muncul. Kerja keras masih dilakukan oleh pihak terkait dan siapa tahu pada Januari mendatang sudah bisa diatasi.

Gubernur Anies Baswedan tampak sangat berhati-hati menyikapi kebijakan yang meleluasakan pemerintah daerah membuka sekolah.

DKI Jakarta masih harus mengkaji hal itu. Pada Desember ini Pemprov DKI Jakarta melakukan kajian mendalam kebijakan sekolah tatap muka.

 

Yang pasti Anies sudah mendengar arahan dari kementerian. Tapi dia akan mengkaji lebih komprehensif karena kondisinya di tiap daerah tentu beda-beda.

Selain itu, Anies akan melakukan konsultasi lebih lanjut dengan para ahli kesehatan dan ahli pendidikan terkait tatap muka sekolah. Keputusan akan berdasarkan situasi di Jakarta.

Itulah sebabnya sampai saat ini untuk DKI Jakarta belum ada keputusan apakah bulan Januari akan mulai belajar di sekolah atau tidak.

Orang tua murid pun masih harus bersabar dalam menjalani hari-harinya sebagai guru pengganti di rumah.

Orang tua juga perlu terus menjaga kesabarannya agar tensi tidak naik sehingga imunitas tubuh tetap terjaga baik sebagai penangkal virus corona.

Pekerjaan tambahan sebagai guru pengganti itu diharapkan akan menyadarkan betapa tidak mudah mengajari anak-anak hingga mereka paham materi pelajaran sekolah.

Juga semakin menyadarkan betapa mulianya profesi guru. Maka hormati dan sayangi mereka.  (Antara)

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin