Jakarta, Aktual.com – Undang-Undang No 02 Tahun 2020 atau eks Perppu No 01 Tahun 2020 patut dinilai dan diduga sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) terhadap negara, bangsa dan rakyat.
Demikian dikatakan Ketua Komite Pengarah KMPK (Koalisi Masyarakat Penegak Kedaulatan) Prof Dr M Din Syamsuddin ketika tampil sebagai keynote-speaker dalam acara Serial Webinar KMPK (5) dengan tema “UU Korona No. 2/2020: DPR Lumpuh dan Dilumpuhkan Tanpa Hak Budget!”, Jum’at (24 Juli 2020).
Alasannya, kata Din, Pasal 23 UUD 45 itu bersifat uninterpretable, tidak dapat ditafsirkan dan tidak memerlukan penafsiran. Karena isinya sudah sangat jelas, baik pada ayat 1, 2 dan 3, bahwa Rancangan APBN itu harus disetujui oleh DPR. Dan DPR memiliki hak yang sangat mendasar dan utama, antara lain terkait hak budgeting
“Dan pasal 23 UUD 45 inilah yang disimpangkan, diselewengkan, dikangkangi dan dibangkangi oleh pemerintah dan DPR itu sendiri,” ujar Din.
Din menuturkan, ia sengaja menggunakan tiga diksi tadi, karena menurutnya yang terjadi tidak hanya penyimpangan, tidak hanya penyelewengan, tapi sudah merupakan pengangkangan dan pembangkangan.
“Maka menurut hemat saya dia (Uu 2/2020-red) termasuk patut dinilai dan diduga sebagai ‘extra ordinary crime against the state, against the nation dan against the people’s’. Artinya adalah kejahatan luar biasa terhadap negara , terhadap bangsa, terhadap rakyat,” ujar Din .
Apalagi dalam perspektif demokrasi, lanjut Din, rakyat yang berdaulat antara lain memiliki hak asasi, yaitu people’s right to budget, hak rakyat atas anggaran, dima itulah yang diwakili oleh wakil-wakil rakyat, untuk membela kepentingan rakyat, untuk menilai apakah budgeting itu betul-betul mengarah kepada pencapaian cita-cita nasional. Kemudian apakah betul menjamin dan memastikan perwujudan kesejahteraan rakyat, untuk menjamin dan memastikan apakah disitu ada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Itulah gunanya diskusi di lembaga perwakilan rakyat yang bernama DPR itu. Bukan cuma sekedar menerima secara taken for granted apa yang diajukan oleh pemerintah atau eksekutif,” tegasnya.
Oleh karena itu, kata Din, UU No 2 Tahun 2020 atau eks Perppu No 1 Tahun 2020 sungguh merupakan sebuah keputusan, sebuah kebijakan yang selain tidak bijak, tapi juga melanggar fatsun politik yang berlangsung bertahun-tahun. Diungkapkannya, RAPBN diajukan dan didiskusikan dalam jangka waktu yang lama, bahkan terjadi perdebatan. Namun sekarang itu telah dihilangkan dan dilupakan.
“Inilah yang kemudian membawa saya kepada satu kesimpulan bahwa UU No 2 Tahun 2020 adalah extra ordinary crime,” tegasnya.
Maka dari itu, kata Din, KMPK dan seluruh pendukungnya berketetapan hati menggugat UU No 2 Tahun 2020.
“There is no point to return. Tidak ada titik kembali,” sebut Din.
Din mengungkapkan, bahwa selama ini ada yang pesimis terhadap kemungkinan gugatan ini diterima oleh MK. Namun Din menegaskan, ia masih menyisakan optimisme, dengan terus menerus mengingatkan para hakim MK yang mulia bahwa ada Hakim Tertinggi (ahkamul-hakimin).
“Yakinilah Allah SWT Maha Adil, Allah SWT akan mengganjari hamba-Nya yang tidak menegakkan keadilan. Setiap hari jum’at pada khutbah kedua menurut tradisi Islam khatib dianjurkan bahkan menjadi rukun dari khutbah itu, yaitu mengajak jama’ah kepada keadilan. Innallaha ya’muru bil ‘adli wal-ihsaani , mengajak kepada keadilan dan kebaikan,” jelasnya. .
Din mengingatkan, Maka, bagi yang memangku amanat sebagai hakim yang mulia sungguh berat tanggungjawabnya, yaitu harus mempertanggungjawabkan keputusannya, tidak hanya di hadapan rakyat, tapi juga di hadapan Yang Maha Kuasa dan Maha Adil.
“Maka keputusan Allah SWT, kalau tidak di dunia, yang pasti nanti di akhirat,” pungkasnya.
Webinar yang dipandu Sekjen KMPK Auliya Khasanofa ini menghadirkan sejumlah pembicara, yakni Dr. Ahmad Yani (dosen UMJ), Dr. M. Said Didu (Mantan Sekjen KBUMN), Drs. M. Hatta Taliwang MIKom (IEPSH), Djoko Edhi Abdurrahman (Mantan Anggota DPR RI), Abdurrahman Syebubakar (IDE) dan
Dr. Marwan Batubara (Ketua Komite Penggerak KMPK). (Tajdid)
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin