Yogyakarta, Aktual.com – Klaim sepihak tanah SG dan PAG melaui proses inventarisasi dan sertifikasi oleh pihak Kesultanan serta Pakualaman menuai pertanyaan dari sejumlah pihak di Yogyakarta.

Pakar pemerintahan dari UII Yogyakarta, Ni’matul Huda mempertanyakan dasar hukum pihak Keraton lakukan inventarisasi tanah. “Raperdais Pertanahannya saja belum selesai digarap oleh dewan,” ujar Ni’matul, di DPRD DIY, Kamis (9/6).

Dia pun mendesak DPRD DI Yogyakarta agar tidak membiarkan begitu saja tindakan klaim sepihak yang dilakukan Keraton dan Kadipaten.

Dewan dituntutnya untuk lebih berani melindungi rakyat, meski yang dihadapi adalah entitas kekuasaan yang memiliki pengaruh sangat kuat di Yogyakarta.

Perlindungan yang dimaksud, menurut Ni’matul dapat berupa keberanian membuat rumusan-rumusan Perdais Pertanahan yang sesuai dengan keinginan masyarakat
Yogyakarta atas tanah.

Misal, identifikasi dan sertifikasi pihak Keraton dan Kadipaten tidak dilakukan terhadap tanah-tanah non Keprabon. Melainkan terbatas pada tanah-tanah Keprabon saja.

Tanah Keprabon merupakan tanah yang digunakan untuk bangunan istana dan kelengkapannya, berupa Keraton, Pagelaran, Sripanganti, makam raja, alun-alun, masjid,
taman sari, pesanggrahan dan petilasan.

Sedangkan, tanah non Keprabon terdiri atas dua jenis tanah, pertama, tanah yang digunakan penduduk/lembaga dengan hak, seperti kampus, rumah sakit, hutan, magersari, ngindung, tanah hak pakai dan lain-lain. Kedua, tanah yang digunakan penduduk tanpa alas hak.

“Sekarang tanah yang sudah digunakan penduduk berpuluh tahun masak mau diambil lagi? Saran saya ya harus dimoratorium dulu kegiatan (inventarisasi/sertifikasi) itu
nunggu Raperdais Pertanahannya jadi,” himbau Ni’matul.

Dosen yang telah lama mengawal kasus konflik pertanahan di DIY ini mengungkapkan, ketika dirinya melakukan FGD dengan DPR RI pada Oktober tahun lalu, anggota dewan
saat itu mengaku heran dengan kegiatan inventarisasi dan sertifikasi yang dilakukan. Mereka bahkan menyebutnya sebagai ‘sesuatu yang liar’ lantaran tidak berdasar hukum.

Meski demikian, sambung Ni’matul, DPR RI ternyata juga tetap tidak berani mengambil tindakan dikarenakan sungkan kepada pihak Kesultanan Yogyakarta.

Masyarakat Yogyakarta saat ini, dituturkan Ni’matul, sedang menunggu seperti apa Raperdais yang akan dihasilkan nanti. Termasuk siapa yang berwenang dalam penyelesaian
sengketa supaya tidak timbul persoalan lagi di kemudian hari.

Atau malah masyarakat akan berhadapan langsung dengan Keraton/Kadipaten atau melalui lembaga/ Pemerintah Daerah. “Jangan sampai DPRD keliru sehingga menjadi bom waktu, kasihan masyarakatnya karena masalah pertanahan ini hal yang sensitif,” kata dia.

Sudah berkali mengimbau Keraton dan Kadipaten

Menanggapi berbagai kritik yang disampaikan, Kepala Bidang Pertanahan dan Reforma Agraria DPW PAN DI Yogyakarta, Fani Satria, mengklaim sudah berkali-kali mengeluarkan himbauan kepada pihak Keraton dan Kadipaten.

Namun tidak mendapat respon yang positif. Pandangan-pandangan yang disampaikan hanya dianggap ‘second opinion’ bagi pemerintah DIY. “Terkait uji materi UUK, menurut saya sudah saatnya dilakukan, kita bantu masyarakat yang ingin menggugat dengan menyediakan Penasehat Hukumnya,” kata Fani.

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis