Solidaritas Perempuan (SP) melihat pemerintahan Jokowi / JLK belum berhasil menerjemahkan reforma agraria yang sesungguhnya. Program Nawacita nyatanya tidak bisa menjawab persoalan perempuan atas Reforma Agraria.

Jakarta, Aktual.com – Sejumlah organisasi keadilan perempuan mendorong tujuh Undang-Undang agar diprioritaskan dan direvisi. Sebab dinilai masih timpang dan diskriminatif terhadap perempuan.

Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartikasari mengatakan ketujuh UU yang perlu segera direvisi yakni:

UU Penghapusan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan, UU Perlindungan PRT, UU Perlindungan Penghapusan Perkawinan Anak, UU Kesejahteraan Sosial, UU Perlindungan Nelayan, UU Kesetaraan dan Keadilan Gender dan UU Perlindungan TKI.

Kata dia, berbagai peraturan dan Undang-Undang di Indonesia masih menempatkan perempuan pada posisi yang tidak beruntung. Sehingga menghambat adanya kesempatan perempuan untuk bisa berkembang dan menikmati hak hidup lebih baik.

Semisal, UU Penghapusan Perkawinan Anak. Menurut dia, UU itu jadi pangkal untuk mencegah kemiskinan karena melegalkan perkawinan anak di bawah usia 18 tahun.

“Usia minimal perkawinan adalah 18 tahun. Dalam realitanya, sekitar 43 persen pasangan perkawinan adalah anak-anak, sebagian besar dipaksa orangtua. Seharusnya pada usia tersebut mereka sekolah, akhirnya bekerja ujung-ujungnya jadi buruh migran,” kata Dian, di konferensi pers “Bulan Peringatan Hari Perempuan Internasional” di Jakarta, Minggu (6/3).

Berdasarkan hasil Susenas 2012, tercatat sekitar 11,13 persen anak perempuan menikah di usia 10-15 tahun dan sekitar 32,10 persen di usia 16-18 tahun.

UU Perlindungan Tenaga Kerja Indoneisa (TKI) juga disorot. Karena dianggap sebagai regulasi yang dapat memproteksi pekerja domestik dari kerentanan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

“Praktik pelanggaran HAM perempuan masih berlangsung sampai saat ini karena kebijakan buruh migran Indonesia tidak memperhatikan keadilan gender,” kata Direktur Eksekutif Migran Care Anis Hidayah.

Terbatasnya TKI di luar negeri mendapat hak keadilan masih menjadi persoalan. Contohnya, para buruh migran di Arab Saudi yang menjadi korban perkosaan dipersulit saat persidangan.

Ia menjelaskan sistem hukum di negara tersebut tidak memudahkan perempuan untuk mendapat keadilan, yakni harus mendatangkan empat saksi untuk membuktikan adanya perkosaan sehingga banyak buruh migran yang mendapat perlakuan tidak layak akibat kelemahan proteksi hukum.

Selain ada tujuh Undang-Undang yang diprioritaskan, Komnas Perempuan menyebutkan masih ada 385 Peraturan Daerah (Perda) yang diskriminatif terhadap perempuan.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara