Jakarta, Aktual.com – Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar melihat ada sesuatu kejanggalan terkait pemberian gelar profesor terhadap Jaksa Agung ST Burhanuddin. Pasalnya, orang yang menerima gelar profesor setidaknya memiliki rekam jejak yang jelas, terutama dalam hal mengajar.
“Mestinya harus dilihat semua, profesor itu kan gelar lamanya mengajar, orang berkecimpung akademis, kalau nggak ngajar dari mana (gelarnya)? Ini jadi pertanyaan, nggak lucu deh, dikasih gelar akademis, itu ada udang di balik batu,” kata Fickar saat dihubungi wartawan, Selasa (14/9).
Menariknya, dalam buku pidato pengukuhan gelar profesornya berjudul Hukum Berdasarkan Hati Nurani ternyata ada beberapa hal yang bertentangan dengan nurani. Sebut saja tahun lahir ST Burhanuddin dan riwayat pendidikannya. Dan mungkin juga tentang riwayat keluarganya. Dengan kata lain, “ada kebohongan” yang tidak disampaikan kepada publik sebagai jaksa agung alias sebagai pejabat publik.
Soal data tahun kelahiran, misalnya, dalam buku pengukuhan profesornya, Burhanuddin disebut lahir 17 Juli 1959. Sementara berdasarkan publikasi secara terbuka dan khususnya dari situs resmi Kejaksaan Agung, Burhanuddin ditulis lahir pada 17 Juli 1954.
Selain tahun kelahiran, riwayat pendidikan Burhanuddin juga berbeda antara di buku pengukuhan profesornya dengan data publik serta data di situs resmi Kejaksaan Agung. Di buku pengukuhan tersebut Burhanuddin disebut lulusan sarjana hukum dari Universitas 17 Agustus 1945, Semarang, Jawa Tengah tahun 1983. Sementara di situs resmi Kejaksaan Agung, Burhanuddin disebut lulusan sarjana hukum Universitas Diponegoro tahun 1980.
Untuk pendidikan pasca-sarjananya, di situs resmi Kejaksaan Agung, Burhanuddin menyebut lulusan magister manajemen dari Universitas Indonesia (UI) tahun 2001. Sementara di buku pengukuhan profesornya, Burhanuddin disebut lulus dari Sekolah Tinggi Manajemen Labora di DKI Jakarta tahun 2001.
Data yang saling bertentangan itu menjadi pertaruhan bagi kredibilitas Kejaksaan Agung. Pasalnya, data tentang pemimpin tertinggi di lembaga tersebut tidak akurat sehingga publik mempertanyakan mana yang harus dipercaya. Dengan kata lain, jika data pemimpin tertingginya saja ganda, apalagi sebagai Guru Besar apa yang akan diajarkan nanti, sementara dia selalu mengatasnamakan hati nurani dalam sambutan sambutannya, maka apalagi yang bisa publik percayai?
Soal data yang saling bertentangan itu, kata Fickar, menandakan ada yang disembunyikan dan menunjukkan ketidakjelasan Burhanuddin di samping tidak pernah pula mengajar. Juga tidak pernah ditemukan karya akademis baik buku maupun jurnal yang tidak pernah ditulis Burhanuddin. Ditambah lagi, data-data tentang riwayat pendidikan dan tahun kelahirannya saja berbeda-beda sehingga semakin tidak jelas rekam jejaknya.
“Soal (rekam jejak pendidikannya) dari universitas meski benar bisa dilacak. Ini nggak jelas unsur kepastiannya, takut kasih data yang benar. Sebagai akademisi (saya) nggak setuju (kasih gelar profesor) kepada pejabat publik (yang) dasarnya bukan dosen. Dari jaksa itu yang meragukan,” pungkas Fickar.
Dilain sisi, ratusan anggota Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Soedirman juga melakukan unjuk rasa menentang pemberian gelar profesor pidana kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin.
Penentangan itu disebabkan Burhanuddin dinilai abai terhadap hak asasi manusia dan kerap menyembunyikan kebenaran seperti mengistimewakan mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari dan Joko S Tandra, terpidana kasus korupsi hak tagih Bank Bali.