“Dalam konteks ini, jelas dan nyata terjadi pelanggaran HAM, menyangkut hak – hak dalam proses hukum serta tidak ada hak – hak yang didengar sesuai dengan asas Audi et Alteram Partem (mendengarkan dua belah pihak),” ungkap Prof. Pantja Astawa.

Sementara itu Ahli hukum Pidana dari Universitas Trisakti Jakarta, Dr. Maria Silvya Elisabeth Wangga, SH., MH. dalam pendapatnya dalam persidangan sebagai ahli hukum pidana mengatakan, due process of law lahir dari pengakuan HAM sebagai tercantum dalam magna carta. Proses peradilan harus dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan dengan tidak membeda-bedakan.

“Pemeriksaan dilakukan dalam keadaan bebas, memiliki asas praduga tidak bersalah, dan didampingi penasehat hukum. Sehingga ketika tidak didampingi penasehat hukum dalam pemeriksaan, maka itu bertentangan due process of law. Jadi adanya pelanggaran prosedur,” ungkapnya.

Lebih lanjut ahli yang diajukan pemohon praperadilan ini mengatakan, merujuk KUHAP mengenai hak tersangka, ketika dimulainya penyidikan sebagaimana Putusan MK 130/2014, penyidik wajib memberitahukan SPDP kepada pelapor, korban, dan terlapor dalam waktu 7 hari sejak penyidikan. Sebelum diperiksa sebagai tersangka, terlapor atau calon tersangka harus diberi tahu terlebih dahulu sebagai calon tersangka yang kegunaannya untuk menyiapkan pembelaan.

“Jika proses tersebut terlewatkan, maka diajukan praperadilan. Jika penetapan tersangka atau pemeriksaan tersangka yang tidak sesuai dengan prosedur, maka itu mengandung kecacatan” tegas Dr. Maria Silvya.

Lebih lanjut dikatakan, KUHAP berlaku untuk semua sistem peradilan pidana, bukan hanya dalam delik pidana umum, tapi juga lex specialis dalam tindak pidana korupsi, yang mana hak tersangka diberikan sejak dari pemeriksaan saksi. Menurut Dr. Maria Silvya, BAP (Berita Acara Pemeriksaan) paling krusial justru saat pemeriksaan saksi dan harus didampingi penasihat hukum, agar tidak ada tekanan, jebakan, intimidasi dan itu bagian dari due proces of law, suatu rangkaian peristiwa yang tidak bisa terpisahkan termasuk penerapan pasal dan Undang Undang. “Jika salah, sudah layak untuk diuji di praperadilan, karena MK sendiri dalam putusanya memberikan kesempatan frasa baru dalam kewenangan praperadilan,” pungkas Dr. Maria Silvya.

Pengertian calon tersangka dalam hal ini, adalah harus diberitahukan secara verbal maupun formal bahwa akan ditetapkan sebagai calon tersangka mengingat sudah terpenuhi nya dua alat bukti, dimana agar dari Calon tersangka tersebut bisa mempersiapkan diri termasuk menunjuk seorang penasihat hukum, apabila ada pendapat pemanggilan sebagai saksi berkali kali katakan lah tiga kali hak itu dianggap sebagai proses Calon tersangka, adalah tidak tepat, karena tidak semua saksi nanti nya ditetapkan sebagai tersangka, oleh sebab itu sesuai Due Process of law, seseorang yang dipanggil sebagai saksi harus mendapat bantuan hukum didampingi kuasa hukum, sebagai perlindungan atas hak asasi dari calon tersangka tersebut dalam proses tindak pidana yang merupakan bagian proses dari sistem peradilan Pidana .

Demikian lah penulis berikan pemahaman agar bisa dijadikan pengetahuan umum bagi masyarakat, Para direksi BUMN dan anak cucu dari BUMN, para penegak hukum baik di Kejaksaan Agung beserta jajaran dibawahnya, Bareskrim Mabes Polri dan Lembaga anti Rasuah dari KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

 

Oleh: Agus Widjajanto, adalah
Praktisi hukum, dan penulis esai sertai pemerhati masalah sosial budaya politik hukum dan sejarah bangsanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano