Jakarta, Aktual.com – Direktur Centre For Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi menilai, aturan hukum ihwal laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), seperti termaktub dalam Pasal 10 sampai Pasal 19 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, masih lemah.
Pasalnya menurut Uchok, dalam aturan tersebut tidak mencantumkan kewenangan penegak hukum, seperti Kejaksaan, Kepolisi atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk menelusurinya.
“Masalah kekayaan memang ada payung hukumnya. Tapi memang payung hukumnya tidak mengigit. Harta kekayaan hanya dipajang di etalase, jadi kita nggak bisa melakukan audit apapun,” kata dia, dalam sebuah diskusi, di Jakarta, Jumat (16/12).
Kata Uchok, informasi soal harta kekayaan seorang penyelenggara negara ini tak hanya sekadar laporan biasa. Rakyat pun harus tahu dari mana harta tersebut didapat.
“Padahal kalau kita lihat, kalau jadi pejabat negara itu bisa kaya, nggak tahu dari mana, karena memang tidak boleh disentuh,” ucapnya.
Kondisi ini, sambung dia, tidak terlepas dari sikap pemerintah dan DPR. Pendapatnya, pemerintah dan DPR tidak mau ‘boroknya’ diketahui rakyat. Sehingga aturan soal laporan harta kekayaan begitu lemah.
“Karena biasanya, DPR, pemerintah, untuk mereka sendiri, untuk urusan kepentingan mereka, biasanya sangat lemah. Tapi untuk masyarakat kecil, berat sekali, kaya tilang saja,” sesalnya.
Seperti diketahui, dalam UU Nomor 28 Tahun 1999, tertuang Pasal yang mengatur tentang kewajiban penyelenggara negara melaporkan harta kekayaannya. Ketentuannya, LHKPN diserahkan kepada KPK saat pertama kali menjabat, mutasi, promosi dan pensiun.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid