Jakarta, Aktual.com — Empat pesawat jenis Grob 120-TP produksi Jerman dengan tahun pembuatan 2014 bersiap-siap untuk terbang sebelum Matahari terbit di Pangkalan Udara (Lanud) Adisutjipto, Yogyakarta, pada 29 Juli 2015 lalu.
Sepuluh menit sebelumnya, beberapa orang berpakaian kadet udara tampak berkumpul untuk membahas jalur penerbangan keempat pesawat tersebut dengan melihat peta yang disinari oleh cahaya dari lampu minyak tanah.
Jalur telah ditetapkan, dan mereka akan menyerang tangsi militer musuh di beberapa wilayah di Jawa Tengah, yang berada di sebelah utara dari Lanud.
Mesin di keempat pesawat tersebut dinyalakan, namun hanya tiga yang berhasil terbang karena satu pesawat mengalami masalah teknis sehingga tidak bisa digunakan.
Kemudian terbanglah ketiga pesawat tersebut di fajar hari yang gelap, dingin, dan berkabut. Komandan Lanud Adisutjipto Marsekal Pertama TNI Imran Baidirus memberikan hormat pada ketiga pesawat tersebut ketika lepas landas.
Personel Lanud Adisutjipto dan para kadet tersebut tidak sedang benar-benar akan menyerang beberapa wilayah di Jawa Tengah.
Satu pesawat Grob 120-TP juga tidak benar-benar mengalami masalah mesin. Ketiga pesawat yang telah lepas landas pun juga hanya terbang selama beberapa menit memutari lanud.
Pagi itu, TNI AU melakukan sandiwara teater dan napak tilas terhadap operasi serangan udara pertama Indonesia yang terjadi pada 29 Juli 1947, salah satu peristiwa yang diperingati dalam Hari Bakti TNI AU.
TNI AU menggelar napak tilas peristiwa operasi militer udara pertama Indonesia, 29 Juli 1947, sebagai bagian dari acara peringatan Hari Bakti Ke-68.
Komandan Wing Pendidikan Terbang Lanud Adisutjipto Kolonel Penerbang Azhar Aditama selaku koordinator penerbangan tersebut, mengatakan tidak ada latihan khusus untuk penerbangan terkait dengan peringatan itu.
“Seperti latihan penerbangan reguler saja. Untuk peringatan ini pesawat hanya terbang memutari kawasan lanud,” ucapnya.
Dia mengatakan bahwa saat operasi militer pada zaman setelah kemerdekaan tersebut, merupakan pembalasan terhadap serangan pesawat militer Belanda pada 21 Juli 1947 atas wilayah Indonesia.
“Pada saat itu semua pangkalan AU dibom kecuali pangkalan udara Maguwo (sekarang Lanud Adisutjipto) karena berkabut tebal. Lanud lain di Surakarta, Jakarta, Bandung, dan Bukittinggi hancur,” katanya.
Ide untuk membalas dengan menyerang tangsi militer Belanda muncul dari Bambang Saptoaji, Suharnoko Harbani, Sutardjo Sigit, dan Mulyono.
Ide tersebut kemudian dilaporkan kepada Perwira Operasi Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma dan dilanjutkan ke Kepala Staf AU pertama Komodor Udara Soerjadi Soerjadarma.
Empat pesawat direncanakan melakukan operasi udara tersebut, namun hanya tiga yang siap operasi.
Ketika itu, TNI AU menerbangkan tiga pesawat, yaitu satu pesawat Guntai yang dengan pilot Kadet Penerbang Mulyono dengan “air gunner” Dulrachman yang terbang ke Semarang dengan membawa 400 kilogram bom.
Kemudian ada dua pesawat Cureng yang dengan pilot Kadet Penerbang Sutardjo Sigit dengan “air gunner” Sutardjo dan Kadet Penerbang Suharnoko Harbani dengan “air gunner” Kaput.
Dua pesawat Cureng tersebut membawa 50 kilogram bom yang digantungkan pada setiap pesawat dan peti-peti berisi bom bakar yang dipangku oleh para “air gunner”.
“Perjalanannya melewati Magelang melalui sisi barat Gunung Merapi dan Merbabu. Bom dipangku kemudian dilempar,” kata dia.
Selesai melaksanakan misinya, pesawat segera kembali ke Pangkalan Udara Maguwo dan segera disembunyikan di bawah pohon dan ditutupi oleh semak-semak sebagai kamuflase.
Komandan Lanud Adisutjipto Marsekal Pertama (TNI) Imran Baidirus memimpin upacara untuk mengawali acara tradisi napak tilas rute operasi udara.
Dia berharap napak tilas tersebut mampu memperkuat jiwa patriotisme dan nasionalisme yang kemudian diimplementasikan dalam fungsi dan tugas masing-masing.
“Peristiwa 29 Juli 1947 merupakan fakta sejarah yang patut dikenang sebagai motivasi untuk menghadapi tantangan ke depan,” katanya.
Profesionalisme AU TNI AU setiap tahun memperingati Hari Bakti dengan latar belakang dua peristiwa yang terjadi dalam satu hari, yaitu pada 29 Juli 1947.
Periode waktu itu, Indonesia masih dianggap belum mampu menangani kondisi dalam negerinya setelah memproklamasikan kemerdekaannya. Jadilah kedua peristiwa penting kedirgantaraan nasional itu membuka mata dunia, bahwa bangsa Indonesia yang masih usia sangat muda itu bisa berbicara di pentas pertahanan dunia.
Pertama, munculnya heroisme para kadet penerbang Angkatan Udara, yaitu Kadet Penerbang Mulyono, Kadet Penerbang Sutarjo Sigit, dan Kadet Penerbang Suharnoko Harbani, yang ketiganya berusia sekitar 19 tahun.
“Serangan udara ini merupakan operasi udara pertama kali dan menjadi cikal bakal operasi udara yang terus dikembangkan oleh TNI Angkatan Udara,” kata Kepala Staf AU Marsekal TNI Agus Suprianta.
Peristiwa kedua adalah jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA yang mengakibatkan tiga perintis TNI AU, yaitu Agustinus Adisutjipto, Abdulrachman Saleh, dan Adi Soemarmo Wirjokusumo, gugur.
Jatuhnya pesawat tersebut karena penembakan yang dilakukan oleh dua pesawat militer Belanda jenis Kittyhawk sebagai respons balik atas serangan di pagi harinya.
TNI AU pada 17 Juli 2000 membangun Monumen Perjuangan di lokasi jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA tersebut di Dusun Ngoto, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Di lokasi tersebut juga dibangun tugu dan relief tentang peristiwa 29 Juli 1947 serta makam Agustinus Adisutjipto dan Abdurachman Saleh.
Kasau mengatakan pula bahwa semangat perjuangan dan kerelaan berkorban tanpa pamrih yang diwariskan para pendahulu dalam peristiwa bersejarah tersebut menjadi inspirasi dan semangat yang tetap terpelihara sekaligus menjadi nilai moral dan profesionalisme setiap insan prajurit TNI AU dalam melaksanakan tugas pengabdian.
Namun demikian, perjuangan dan pengabdian saat ini telah mengalami perubahan seiring dengan perkembangan lingkungan strategis sehingga tugas dan tantangan ke depan yang dihadapi tentunya akan semakin berat dan kompleks.
“Kita juga masih dihadapkan dengan berbagai hal, sehingga sumber daya yang ada harus kita kelola secara cermat,” kata Marsekal Agus.
TNI AU berupaya mewujudkan kekuatan alat utama sistem senjata yang seimbang dengan yang dimiliki negara-negara sekitar di kawasan Asia Tenggara.
“Ini sesuatu ‘balance’ kemampuan dan ‘deterrence’ dari Indonesia sendiri,” kata Marsekal TNI Agus di Akademi Angkatan Udara (AAU), Yogyakarta.
Ketika ditanya mengenai anggaran, Kasau mengungkapkan bahwa dirinya berharap dengan keyakinan bahwa pemerintah akan memenuhi anggaran tersebut.
“Mudah-mudahan perekonomian kita meningkat karena dengan negara ini perekonomiannya meningkat pasti kekuatan juga akan meningkat,” katanya.
Marsekal Agus juga mengatakan bahwa peningkatan alutsista yang sesuai dengan rencana strategis AU sudah mulai dilakukan.
Dia mengatakan TNI AU akan membeli segala sesuatu terutama alutsista sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh AU khususnya dan TNI pada umumnya.
Pada Peringatan Hari Bakti ke-68, Kasau juga mengajak seluruh prajuritnya untuk dapat menghilangkan kepentingan-kepentingan pribadi dalam menjalankan tugas.
Dia menekankan kembali tentang para perintis dan pendahulu AU dulu yang melepas kepentingan pribadi dan keluarganya demi kepentingan bangsa dan negara.
“Ini yang harus diingat oleh generasi penerus agar menghilangkan kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok sehingga mengutamakan kepentingan TNI AU serta bangsa dan negara,” kata Marsekal Agus.
TNI AU, di balik semua kekurangannya, akan terus berupaya melakukan tugas dalam menjamin kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI sebagaimana moto yang tertulis dalam lambang matra, “Swa Bhuana Paksa”, yang berarti sayap tanah air.
Artikel ini ditulis oleh: