Jakarta, Aktual.com — Direktur Jenderal Perhubungan Laut (Hubla) di Kementerian Perhubungan Bobby Reynold Mamahit resmi ditahan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (16/2).
Bobby keluar dari dalam gedung KPK sekitar pukul 17.50 WIB, lengkap dengan rompi oranye yang di punggungnya bertuliskan ‘Tahanan KPK’.
Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha mengatakan, penahanan terhadap Bobby dilakukan untuk 20 hari kedepan.
“Tersangka BRM ditahan di Rutan Kelas I Jakarta Timur Cabang KPK yang berlokasi di Pomdam Jaya Guntur,” kata dia, di kantornya, Jakarta, Selasa (16/2).
Tak hanya Bobby, penyidik KPK juga melakukan penahanan kepada mantan Kepala Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan Laut Kemenhub, Djoko Pramono.
“Tersangka DJP di Rutan Polres Jakarta Timur,” kata dia.
Diketahui, Bobby dan Djoko telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi Pengadaan dan Pelaksanaan Pembangunan Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Sorong Tahap III, pada Pusat Pengembangan SDM Perhubungan Laut (PPSDML) dan Badan Pengembangan SDM Kemenhub tahun anggaran 2011.
Keduanya, ditetapkan sebagai tersangka pada 15 Oktober 2015, lantara diduga telah menerima sejumlah uang dari PT Hutama Karya.
Dalam kasusnya, pengadaan pembangunan Balai Diklat itu dilakukan dengan melanggar peraturan pengadaan barang dan jasa pemerintah, dimana Bobby dan Djoko diduga mengatur lelang agar dimenangkan PT Hutama.
Lantaran penggiringan lelang itu, Bobby menerima imbalan dari PT Hutama sebsar Rp 480 juta, sedangkan Djoko Rp 620 juta.
Pada proses pengadaan tersebut, keduanya merupakan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Mereka diangkat sebagai KPA berdasarkan keputusan Menteri Perhubungan nomor KP.497 Tahun 2010 pada 6 Desember 2010.
Dalam mengerjakan proyek yang memiliki nilai anggaran sebesar Rp 112.253.337.000, PT Hutama memperoleh penerimaa riil sebesar Rp 87.962.242.263. Sedangkan biaya pengerjaan proyek BP2IP yang sebenarnya hanya Rp 68.499.538.702. Sehingga terdapat selisih sebagai kerugian negera sejumlah Rp 19.462.703.561.
PT Hutama juga membuat kontrak fiktif dengan perusahaan rekanan yang jumlahnya sebesar Rp 10.238.4888.644. Perusahaan berplat merah itu juga menggelembungkan biaya operasional senilai Rp 7.401.131.026. Kedua angka tersebut juga termasuk kerugian negara.
Selain itu, PT Hutama juga belum menyelesaikan beberapa pengerjaan yang termasuk ke dalam proyek pembangunan BP2IP itu. Pekerjaan mekanikal dan elektrikal Rp 1.443.992.680, pengerjaan struktur Rp 919.113.191,03 serta pekerjaan arsitektur Rp 728.160.862,89.
Sehingga kerugian keuangan negara seluruhnya, yang dihitung berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 84/HP/XIV/08/2015 pada 4 Agustus 2015 atas pembangunan BP2IP, yakni sebesar Rp 40.193.589.964,92.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu