Jakarta, Aktual.com – Direktur Jenderal Mineral dan Batu bara (Minerba) Bambang Gatot menyarankan adanya pengurangan sedikit pembayaran royalti bagi kontrak karya (KK) yang sudah membangun “smelter” (fasilitas pengolah hasil tambang).

“Bisa saja, misalnya, bagi kontraktor yang sudah memiliki smelter mungkin dikurangi pembayaran royalti kepada negara daripada yang hanya ekspor ‘ore’ (endapan bahan galian yang dapat diekstrak atau diambil mineral berharganya secara ekonomis baik itu logam maupun bukan logam), hal tersebut bisa jadi untuk merangsang kontraktor lainnya agar membangun smelter,” kata Bambang Gatot, Selasa (20/12).

Ketika hadir dalam acara diskusi akhir tahun tentang minerba di salah satu hotel kawasan Jakarta, ia juga menjelaskan hal tersebut terkait dengan masih rendahnya keinginan kontraktor untuk segera membangun smelter atau fasilitas untuk mengolah hasil tambang yang berguna untuk meningkatkan kandungan logam contohnya timah, nekel, tembaga, emas, dan perak.

Kewajiban dalam membangun smelter tertuang dalam Undang-Undang No. 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara atau Minerba, isi dari undang-undang tersebut diantaranya adalah mengatur tentang ekspor bahan tambang yang belum dimurnikan dan larangan bagi perusahaan tambang di Indonesia untuk mengekspor bahan tambang mentah sejak Januari 2014.

Agar izin kontraknya bisa diperpanjang, perusahaan harus memiliki smelter atau sudah dalam proses pembangunan smelter.

Dalam acara diskusi tersebut turut hadir Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan. Terkait dengan aturan smelter ia mengatakan bahwa smelter memang harus ada.

“Hanya kalau belum siap smelternya, hasil tambang bisa menunggu industrinya, atau bagaimana nanti dilihat perkembangannya,” kata Jonan.

Ia kemudian menyampaikan bahwa fokus pada sektor minerba adalah efisiensi produksi. Jonan menginginkan industri minerba juga menganut misi efisiensi.

“Nanti akan ada aturan yang kami berikan, yang pasti kami tetap menghormati kontrak lama yang sudah terjalin, aturan baru berlaku bagi kontrak baru, dan yang belum memiliki aturan harus ikuti aturan yang ada,” tutur Jonan.

Sebelumnya, Jonan juga mengatakan bahwa industri minyak dan gas bumi (migas) akan memfokuskan pada efisiensi yang berbasis pada hasil produksi.

“Hingga saat ini produksi belum efisien, maka kebijakan migas ke depan yang pertama adalah soal efisiensi produksi,” kata Jonan (Senin, 19/12) ketika menghadiri diskusi “out look migas 2017”.

Alasan berfokus pada efisiensi produksi adalah karena harga migas tidak menentu dan tidak ada yang memiliki takaran untuk menentukan. Selanjutnya yang kedua adalah migas Indonesia harus belajar lebih menjadi industri kompetitif dan memahami pasar.

Mantan Menteri Perhubungan tersebut juga menyampaikan bahwa berdasarkan data, pada tahun 2016, kapasitas kilang (refinery) pemerintah sebesar 1.169 juta barel. Dan kurun waktu ke depan pemerintah memiliki rencana merevitalisasi kilang yang sudah ada dan juga akan membangun enam kilang baru.

ANT

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Arbie Marwan