Jakarta, Aktual.com — Direktorat Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengusulkan agar revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) mencantumkan pasal bahwa pemberi informasi data dan rekening perbankan bagi pemeriksaan pajak dilindungi dari ancaman sanksi pidana.

Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak Kemenkeu Irawan mengatakan dalam undang-undang lain, misalnya Undang-Undang Perbankan, terdapat ancaman sanksi pidana bagi pemberi informasi perbankan, meskipun informasi tersebut digunakan untuk melakukan pemeriksaan kewajiban pajak.

“Maka di UU KUP, kami menghilangkan sanksi pidana yang dicantumkan di UU lain dalam hal mereka terikat UU yang mengatur kerahasiaan,” ujar dia di Kuta, Bali, ditulis Sabtu (27/2).

Dalam UU KUP sebelum revisi, kata Irawan, sebetulnya sudah tercantum mengenai wewenang aparat pajak untuk memperoleh informasi dari rekening perbankan milik wajib pajak (WP) untuk keperluan pemeriksaan pajak.

Namun, Ditjen Pajak merasa perlu menambahkan pasal perlindungan sanksi pidana tersebut bagi pemberi informasi. Hal itu akan membuat pemberi informasi memiliki jaminan hukum agar tidak dijerat pidana, jika digugat dengan pasal dari produk undang-undang lain yang menyangkut kerahasiaan.

“Jadi, kami tambah orang yang memberikan itu tidak dikenakan sanksi pidana sebagaimana disebut dalam undang-undang yang mengatur kerahasiaan data perbankan itu, (Undang-Undang Nomor 10/1998 tentang Perbankan),” kata dia.

Selain revisi UU KUP, revisi Undang-Undang Perbankan juga masuk dalam Program Legislasi Nasional.

Irawan mengatakan, dalam revisi UU Perbankan, sebaiknya pasal mengenai kerahasiaan perbankan dihilangkan untuk kepentingan pemeriksaan pajak.

Irawan juga meminta prosedur permintaan data perbankan dari Ditjen Pajak kepada Otoritas Jasa Keuangan disederhanakan.

Berkaca pada proses yang telah berjalan sebelumnya, jika petugas pajak ingin memeriksa data dan rekening WP di perbankan, prosedurnya cukup rumit dan tidak efisien.

Surat permintaan informasi tersebut, ujarnya, harus diusulkan Dirjen Pajak kepada Menteri Keuangan. Kemudian, dari Menteri Keuangan, surat tersebut diajukan kepada Ketua Dewan Komisioner OJK, atau kepada Gubernur Bank Indonesia, sebelum pengaturan perbankan masih di bawah bank sentral.

Setelah permohonan disetujui Ketua DK OJK, baru diteruskan kepada pimpinan perbankan terkait.

“Jadi prosesnya panjang. Itu mungkin bisa enam bulan baru selesai. Nanti keburu selesai pemeriksaannya. Kalau kita mau menagih, orangnya keburu kabur,” ujar dia.

Irawan meminta permintaan informasi perbankan cukup melewati jajaran setingkat di bawah pimpinan masing-masing lembaga.

“Dalam setahun banyak sekali kami minta data. Berapa surat yang harus ditandatangani Pak Muliaman (Ketua DK OJK). Kami harap perolehan data perpajakan jadi lebih singkat,” kata Irawan.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Eka