Jakarta, Aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyurati Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir terkait ketidakhadiran Direktur Utama PT Jasa Marga Desi Arryani untuk diperiksa sebagai saksi di gedung KPK, Jakarta.
“KPK telah mengirimkan surat pada Menteri BUMN tertanggal 12 November 2019 terkait dengan ketidakhadiran saksi Desi Arryani yang saat ini menjabat sebagai Direktur Utama PT Jasa Marga,” ucap Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Senin (18/11).
Setelah tidak hadir sebelumnya, lanjut Febri, KPK berencana memeriksa Desi pada Rabu (20/11) dan Kamis (21/11) pukul 09.30 WIB di gedung KPK.
Adapun pemanggilan Desi dalam jabatan sebelumnya sebagai Kepala Divisi III PT Waskita Karya yaitu sebagai saksi untuk tersangka Kepala Divisi ll PT Waskita Karya FR dalam perkara korupsi pelaksanaan pekerjaan sub kontraktor fiktif pada proyek-proyek yang dikerjakan oleh PT Waskita Karya.
Diketahui, sebelumnya KPK telah memanggil Desi pada 28 Oktober 2019. Namun, yang bersangkutan menyampaikan berhalangan hadir karena ada tugas di Semarang.
“Kemudian, dijadwalkan ulang pada 11 November 2019, namun yang bersangkutan kembali tidak hadir,” kata Febri.
Dengan adanya surat tersebut, kata dia, KPK mengharapkan Menteri BUMN dan jajaran dapat memberikan arahan agar seluruh pejabat yang diperiksa bersikap kooperatif dengan proses hukum dan mendukung upaya pemberantasan korupsi.
“KPK melampirkan surat panggilan di surat pada Menteri BUMN tersebut. Selain itu, kami juga telah mengirimkan surat ke alamat saksi secara patut,” ujar Febri.
Selain FR, KPK juga telah menetapkan karyawan PT Waskita Karya YAS sebagai tersangka.
FR dan YAS dan kawan-kawan diduga menunjuk beberapa perusahaan subkontraktor untuk melakukan pekerjaan fiktif pada sejumlah proyek konstruksi yang dikerjakan oleh PT Waskita Karya.
Sebagian dari pekerjaan tersebut diduga telah dikerjakan oleh perusahaan lain, namun tetap dibuat seolah-olah akan dikerjakan oleh empat perusahaan subkontraktor yang teridentifikasi sampai saat ini.
Diduga empat perusahaan tersebut tidak melakukan pekerjaan sebagaimana yang tertuang dalam kontrak.
Atas subkontrak pekerjaan fiktif itu, PT Waskita Karya selanjutnya melakukan pembayaran kepada perusahaan subkontraktor tersebut.
Namun selanjutnya, perusahaan-perusahaan subkontraktor tersebut menyerahkan kembali uang pembayaran dari PT Waskita Karya kepada sejumlah pihak termasuk yang kemudian diduga digunakan untuk kepentingan pribadi FR dan YAS.
Dari perhitungan sementara dengan berkoordinasi bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, diduga terjadi kerugian keuangan negara setidaknya sebesar Rp186 miliar.
Perhitungan tersebut merupakan jumlah pembayaran dari PT Waskita Karya kepada perusahaan-perusahaan subkontraktor pekerjaan fiktif tersebut.
Diduga empat perusahaan subkontraktor tersebut mendapat “pekerjaan fiktif” dari sebagian proyek-proyek pembangunan jalan tol, jembatan, bandara, bendungan, dan normalisasi sungai. Total terdapat 14 proyek terkait pekerjaan fiktif tersebut.
14 proyek itu antara lain proyek Normalisasi Kali Bekasi Hilir, Bekasi, Jawa Barat, proyek Banjir Kanal Timur (BKT) Paket 22, Jakarta, proyek Bandara Kualanamu, Sumatera Utara, proyek Bendungan Jati Gede, Sumedang, Jawa Barat, proyek Normalisasi Kali Pesanggrahan Paket 1, Jakarta, proyek PLTA Genyem, Papua, dan proyek Tol Cinere-Jagorawi (Cijago) Seksi 1, Jawa Barat.
Selanjutnya, proyek “fly over” Tubagus Angke, Jakarta, proyek “fly over” Merak-Balaraja, Banten, proyek Jalan Layang Non Tol Antasari-Blok M (Paket Lapangan Mabak), Jakarta, proyek Jakarta Outer Ring Road (JORR) seksi W 1, Jakarta, proyek Tol Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa Paket 2, Bali, proyek Tol Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa Paket 4, Bali, proyek Jembatan Aji Tulur-Jejangkat, Kutai Barat, Kalimantan Timur.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan