‘Diskriminasi Penegakan Hukum, Kriminalisasi Ulama dan Aktivis’

Jakarta, Aktual.com – Tim Advokasi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama merilis catatan evaluasi penegakan hukum pasca gerakan aksi bela Islam.

Dalam pandangan dan catatannya, Ketua Tim Advokasi GNPF Ulama, Nasrullah Nasution, menilai bahwa, politik hukum dan politisasi penegakan hukum di Indonesia pasca aksi bela Islam merefleksikan berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh rezim dan sejumlah institusi penegak hukum terhadap hak sipil dan politik warga negara.

Due process of law yang sedianya menjadi landasan penegakan hukum justru dikesampingkan atas nama kepentingan kekuasaan,” kata Nasrullah dalam agenda konferensi pers “Satu Tahun Evaluasi Penegakan Hukum Pasca Gerakan Aksi Bela Islam” yang di gelar di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Jum’at, (22/12).

Padahal menurutnya, secara konstitusi negara sudah dengan tegas menyatakan sebagai negara hukum yang mengedepankan nilai-nilai keadilan dan bukan negara yang mengedepankan kekuasaan.

“”Secara tegas bahwa Indonesian adalah negara hukum (reshstaat) dan bukan negara kekuasaan (machstaat),” tegasnya.

Melalui Undang-undang Republik Indonesia No 12 Tahun 2005, negara telah meratifikasi Internasional convenant on Civilization and politics rigth yang bertujuan untuk melindungi hak-hak sipil dan politik serta membatasi penggunaan kewenangan dan campur tangan aparatur negara.

Kenyataannya, politik hukum dari rezim yang tengah berkuasa dan politisasi penegakan hukum oleh aparat penegak hukum di Indonesia pasca aksi bela Islam justru bertentangan dengan dasar prinsip negara hukum, yang akhirnya berdampak pada luasnya bentuk pelanggaran terhadap hak-hak sipil dan politik warga negara,” ujarnya.

Terkait hal itu,  Tim Advokasi GNPF Ulama membuka catatan sejumlah pelanggaran yang telah dilakukan oleh rezim dan aparatur negara, diantaranya politisasi institusi penegak hukum sehingga berdampak pada proses penegakan hukum yang tidak berkeadilan.

Seperti yang terlihat, penanganan perkara telah mengakibatkan sejumlah ulama dan aktivis menjadi korban pelanggaran HAM. Aktivis yang berani menyuarakan pendapat dijerat dengan delik-delik makar,  penodaan Pancasila, agama dan golongan serta sejumlah delik aduan lainnya yang dinilai sebagai bentuk nyata dari bagian dari upaya untuk melemahkan, membungkam lidah-lidah bersuara yang mengkritisi kebijakan pemerintah.

Penegakan hukum menjadi semakin nampak ketidakadilannya, semakin menunjukan adanya tebang pilih dalam prosesnya.

Tim Advokasi GNPF Ulama mengungkapkan, sepanjang 2016-2017  mencatat, ada sejumlah kasus yang dianggap sebagai upaya kriminalisasi ulama dan aktivis, diantaranya kasus dugaan penodaan terhadap lambang negara dengan terlapor Habib Rizieq Shihab. Imam Besar Front Pembela Islam itu diduga melanggar pasal 154 KUHP; Pasal 68 UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, yang dilaporkan oleh Sukmawati Soekarno Putri.

Belum juga usai menjalani proses hukum tersebut, Habib Rizieq kembali dilaporkan atas dugaan kasus pornografi yang berujung pada penetapan dirinya sebagai tersangka, dan masih banyak lagi sejumlah kasus yang dituduhkan kepada dirinya dan sejumlah tokoh ulama, aktivis, seperti Habib Bahar Bin Ali Bin Smit atas dugaan pelanggaran Undang-undang ITE,  Munarman, atas dugaan pelanggaran ITE, Ustadz Alfian Tandjung, atas dugaan pelanggaran Undang-undang tentang Penghapusan Diskriminasi dan RAS serta dugaan pelanggaran UU ITE, dan masih banyak lagi sejumlah kasus yang menimpah para aktivis lainnya yang masih dalam proses.

Sementara, sejumlah kasus yang menjerat orang-orang yang dianggap pro pemerintah hingga saat ini belum diproses secara hukum, seperti dugaan kasus tentang Penghapusan Diskriminasi dan RAS dengan terlapor Viktor Bungtilu Laiskodat, Ade Armando, dengan dugaan kasus pelanggaran UU ITE, Denny Siregar, dugaan kasus tindak pidana ITE dan juga Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarno Putri atas dugaan kasus pelanggaran pasal 156 KUHP.

Berdasarkan itu,  Tim Advokasi GNPF Ulama menyatakan pernyataan sikapnya terkait hal tersebut, diantaranya meminta aparatur negara untuk menghentikan seluruh proses hukum yang dianggap penuh rekayasa dan bermuatan politik serta membersihkan institusi negara dari oknum-oknum yang menggunakan kekuasaan negara untuk kepentingan politik.

Reporter: Warnoto