Jakarta, Aktual.com — Pemerintahan Presiden Joko Widodo dituntut untuk bisa merealisasikan divestasi dan membeli saham PT Freeport Indonesia sebesar 10,64 persen pada Oktober ini. Namun, setelah Kementerian Keuangan menyatakan tidak menyiapkan dana untuk membiayai pembelian saham Freeport, mencuat usulan agar divestasi dilakukan dengan cara diserahkan kepada Pemerintahan daerah atau melalui mekanisme pasar modal (Initial Public Offering).
Menurut Peneliti Indonesia Today, Ferdy Hasiman kepada wartawan mengatakan opsi menyerahkan kepada Pemda atau melalui IPO, bukanlah opsi yang tepat. Pasalnya, Pemerintah Pusat harus mampu sepenuhnya menguasai divestasi yang ada.
“Jika melalui IPO, saham Freeport akan jadi rebutan pengusaha lokal dan politisi yang memiliki akses mudah ke bank,” kata Ferdy di Jakarta, Jumat (2/10).
Ia menuturkan, pengalaman pelepasan saham Garuda Indonesia adalah contohnya. Pada IPO saham Garuda, bekas Bendahara Partai Demokrat M Nazaruddin memborong 400 juta saham atau Rp300 miliar, yang dilakukan melalui lima perusahaan miliknya. Setelah IPO, salah satu pengusaha kakap yang dapat pinjaman Credit Suisse pun turut memborong 351,6 juta lembar (10 persen saham Garuda).
“Masih banyak kasus korupsi dalam penawaran saham, seperti IPO perusahaan baja milik negara, PT Krakatau Steel Tbk. Opsi divestasi saham FI melalui IPO bukan solusi cerdas,” ujarnya.
Sementara jika divestasi diserahkan kepada Pemda Papua, itupun rawan korupsi dan dapat dipastikan rakyat tidak akan diuntungkan.
“Pemda Papua tak punya banyak uang untuk membeli saham Freeport Indonesia. Paling mereka akan bekerja sama dengan pengusaha lokal. Mekanisme seperti itu yang dilakukan Pemkab Sumbawa Barat pada divestasi 24 persen tahap pertama saham Newmont. Padahal, Newmont waktu itu telah memberi harga spesial ke pemerintah, tetapi yang mendapat keuntungan adalah Grup Bakrie.
“Maka, divestasi saham Freeport Indonesia ke pemda rawan korupsi dan rakyat tak dapat manfaat dari divestasi. Pemerintah Jokowi kelihatannya tidak mampu memberikan solusi yang lebih brilian dibandingkan rezim sebelumnya dalam divestasi saham pertambangan,” ungkap Ferdy.
Berdasarkan aturan, pemerintah pusat memiliki first right untuk mengakuisisi saham Freeport. Namun, proses divestasi mustahil dilakukan pemerintah pada 2015 karena pemerintahan tak memiliki ruang fiskal untuk membeli saham pertambangan strategis pada APBN 2015. Apalagi, beban APBN sangat berat untuk subsidi BBM, pembayaran utang, dan belanja pembangunan.
Namun di sisi lain, apabila pemerintah pusat tak menggunakan kesempatan ini, divestasi saham akan diserahkan ke pemerintah daerah (pemda) atau melepaskan saham perdana melalui IPO di BEI.
“Dua opsi ini tentu rawan korupsi,” tutupnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan