Jakarta, Aktual.com – Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan mengklaim, selama ini pemerintah masih mengalami ketergantungan terhadap ekspor sektor mineral dan batu bara (minerba).

Namun demikian, pemerintah juga berkepentingan akan tetap menjaga pasokan mineral di dalam negeri. Namun begitu, pihaknya juga mengklaim kenaikan tarif bea keluar ini agar penambang mineral bisa membangun pemurniaan atau smelter di dalam negeri.

“Sebetulnya (kenaikan) bea keluar adalah alat untuk atur keran. jadi bukan untuk revenue, namun gimana agar keran itu bisa pastikan suplai (konsentrat) dalam negeri terjaga. Dan kalau suplai dalam negeri cukup baru bisa kita buka (ekspornya),” terang Dirjen DJBC, Heru Pambudi di acara seminar soal defisit anggaran, di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin (20/2).

Sebelum kebijakan ini, kata dia, ketergantungan terhadap bea keluar ekspor minerba memang tinggi. Apalagi rentang tahun 2010-2015. “Jadi di tahun 2010-2015 minerba menyumbang penerimaan dominan dibanding sektor lain,” ujar dia.

Namun demikiannya, pihaknya juga mendorong agar pembangunan smelter tak terganggu. Salah satunya yang harus dilakukan oleh PT Freeport Indonesia.

Lebih jauh, ia menegaskan, dengan adanya kenaikan bea keluar ekspor mineral ini, pemerintah sendiri disebutnya belum bisa menghitung berapa peneirmaan yang akan masuk ke kas negara nantinya.

“Soal penerimaan itu masih prediksi saja (angkanya). Karena penerimaan secara nominal lebih banyak ditentukan oleh kebijakan nasionalnya,” ujar dia.

Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 13/PMK.101/2017 mengenai Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar untuk perusahaan tambang dalam negeri.

Pengenaan tarif bea keluar baru salah satunya ialah penetapan besaran 0 persen sampai 7,5 persen pada produk hasil pengolahan mineral logam berdasarkan kemajuan fisik pembangunan smelter itu.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti mengatakan, penentuan besaran bea keluar akan semakin tinggi jika prosentase pembangunan smelter masih rendah.

“Kebijakan ini dimaksudkan agar industri dapat segera mempercepat penyelesaian pembangunan fasilitas pemurnian,” ujar dia belum lama ini.

Aturan kedua ialah pengenaan tarif bea keluar flat 10 persen atas produk mineral logam dengan kriteria tertentu berupa Nikel dengan kadar lebih kecil dari 1,7 persen dan Bauksit yang telah dilakukan pencucian dengan kadar lebih besar sama dengan 42 persen Al2O3.

Dia melanjutkan kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari PP Nomor 1 tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan