Jakarta, aktual.com – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengungkap temuan mengejutkan terkait indikasi penyamaran klasifikasi dokumen ekspor (HS misclassification) pada komoditas hasil turunan sawit. Dalam hasil analisis terbarunya, DJP mendeteksi adanya modus lama yang kembali digunakan, yakni penyalahgunaan dokumen ekspor dengan mengaku sebagai limbah sawit atau palm oil mill effluent (POME) padahal barang yang dikirim sebenarnya adalah fatty matter — produk sampingan sawit yang masih bernilai tinggi.
“Awalnya kami mendeteksi modus lama pakai POME. Jadi under invoicing dengan dokumentasi POME-lah. Diakui sebagai POME, tapi sebenarnya bukan POME,” ungkap Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto saat meninjau New Priok Container Terminal (NPCT) 1, Jakarta, Kamis (6/11/2025).
Menurut Bimo, praktik serupa sudah berlangsung sejak 2021 hingga 2024. Dari hasil penelusuran, DJP menemukan 257 wajib pajak yang melaporkan ekspor POME dengan nilai total Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) mencapai Rp45,9 triliun.
“Makanya tadi kami juga laporkan ke Pak Menperin, ada 282 perusahaan yang menggunakan modus under invoicing POME dan fatty matter kalau digabung,” jelasnya.
Kini, modus yang sama digunakan untuk menyamarkan ekspor fatty matter, yakni asam lemak hasil sampingan sawit yang seharusnya dikategorikan sebagai produk bernilai komersial tinggi — bukan limbah. Akibat manipulasi ini, DJP memperkirakan potensi kehilangan penerimaan negara mencapai Rp140 miliar hanya dari selisih nilai ekspor yang dilaporkan.
“Jadi bea masuknya itu bisa 10 kali lipat dari yang tercantum, karena diduga di-under invoicing,” tegas Bimo.
Salah satu perusahaan yang diduga menggunakan modus ini adalah PT MMS, bersama tiga perusahaan afiliasinya — PT LPMS, PT LPMT, dan PT SUNN. Keempat perusahaan tersebut dilaporkan mengekspor fatty matter dengan nilai total PEB sebesar Rp2,08 triliun.
“Dari total itu, potensi kerugian negara kami estimasi sekitar Rp140 miliar dari sisi pajak,” ujar Bimo.
Temuan ini langsung mendapat perhatian dari Presiden Prabowo Subianto, yang memerintahkan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk membenahi tata kelola ekspor-impor nasional, terutama dalam pengawasan klasifikasi dan pelaporan barang ekspor.
“Setelah ini, 282 wajib pajak yang melakukan ekspor serupa akan kami periksa. Akan kami bukper (pemeriksaan bukti permulaan) dan akan kami sidik sesuai dengan kecukupan bukti awal,” tegas Bimo.
DJP memastikan langkah penegakan hukum akan diperkuat untuk menutup celah penyimpangan di sektor ekspor komoditas strategis, khususnya industri sawit yang menjadi penyumbang utama devisa negara.
Dengan nilai ekspor sawit dan turunannya yang mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahun, pengawasan terhadap praktik manipulasi dokumen ekspor seperti ini menjadi krusial untuk menjaga penerimaan negara dan integritas sistem perdagangan Indonesia.
Kasus fatty matter ini menambah daftar panjang praktik under invoicing dalam ekspor hasil bumi Indonesia. Pemerintah dihadapkan pada tantangan besar untuk menyeimbangkan insentif industri dengan pengawasan fiskal yang lebih cermat — agar setiap tetes devisa yang keluar dari pelabuhan benar-benar masuk ke kas negara.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano

















