Jakarta, Aktual.com – Pemerintah Provinsi  DKI Jakarta menunggu keputusan dari pemerintah pusat untuk mengambil kebijakan “rem darurat” ataupun hingga kebijakan “lockdown” terkait kasus COVID-19 di Jakarta yang meningkat signifikan.

“Nanti kita akan pelajari, tunggu keputusan pusat ya,” kata Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria di Balai Kota Jakarta, Jumat (18/6) malam.

Namun demikian Riza menekankan pengambilan keputusan untuk menarik rem darurat seperti yang pernah diberlakukan di Jakarta sekitar Februari 2021 tersebut tidaklah terkendala oleh pemerintah pusat.

“Enggak, enggak begitu,” ujar Riza, tanpa menjelaskan lebih lanjut.

Hal yang sama diungkapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widyastuti, kebijakan rem darurat merupakan kewenangan pemerintah pusat, meski kondisi COVID-19 saat ini mirip seperti Februari saat pertambahan kasus harian tinggi, bahkan menembus angka 4.213 kasus.

“Kebijakan ada di tingkat pusat. Karena (PPKM Mikro) dari pusat,” ucap Widyastuti saat ditemui di Monas, Jumat.

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta, jumlah kasus aktif di Jakarta naik sejumlah 2.173 kasus, sehingga jumlah kasus aktif sampai hari ini sebanyak 24.511 (orang yang masih dirawat/isolasi). Sedangkan, jumlah kasus terkonfirmasi secara total di Jakarta hingga Jumat ini sebanyak 463.552 kasus.

Data pertambahan kasus positif COVID-19 yang dilaporkan Jumat ini sebesar 4.737 kasus, yang sebanding dengan penambahan kasus pada Bulan Februari tanggal 7 Februari 2021, namun kali ini lebih tinggi karena pada Februari lalu penambahan yang tercatat adalah 4.213 kasus.

Dari jumlah total kasus positif, total orang dinyatakan telah sembuh sebanyak 431.264 dengan tingkat kesembuhan 93,0 persen, dan total 7.777 orang meninggal dunia dengan tingkat kematian 1,7 persen.

Untuk “positivity rate” atau persentase kasus positif sepekan terakhir di Jakarta sebesar 21,8 persen, sedangkan persentase kasus positif secara total sebesar 11,1 persen. Jumlah ini masih jauh di bawah standar persentase kasus positif oleh WHO yang meminta tidak lebih dari lima persen untuk satu kawasan. (Antara)

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin