“Ya Allah, matikanlah hatinya.
Ya Allah, matikanlah akalnya.
Ya Allah, matikanlah matanya.
Ya Allah, matikanlah telinganya.
Ya Allah, matikanlah tangannya.
Ya Allah, matikanlah kakinya.
Ya Allah, matikanlah badannya.
Aamiin ya robbal ‘alamiin…”

Miris mendengarnya…! Ngeri…!!!

Jakarta, Aktual.com – Untaian doa inilah yang malam itu menggema dari puing-puing reruntuhan rumah warga di Kampung Akuarium, Pasar Ikan, Jakarta Utara. Doa kaum terzalimi. Doa yang diaminkan ratusan warga yang berkumpul dipeluk gelap malam.

Angin berhembus semilir, ditemani temaram cahaya lampu dari kapal-kapal yang ditambat di sekitar yang mencoba menjangkau wajah-wajah sarat duka berbalut marah.

Malam itu, selepas isya, Ahad, 7 Agustus 2016, ratusan warga menyesaki area bekas reruntuhan rumah dan bangunan lain. Mereka duduk di puluhan kursi lipat yang disediakan panitia. Ratusan lain tersebar, di sekitar kursi. Ada yang duduk di bongkahan puing-puing.

Ada juga yang nangkring di atas sisa tembok yang ‘tertinggal lolos’ dari becho, alat berat penghancur rumah warga. Sebagian lain duduk lesehan beralas terpal plastik, juga di atas puing-puing.

Ya, malam itu warga Kampung Akuarium menggelar acara nobar, alias nonton bareng film dokumenter berjudul ‘Kedok Palsu Revitalisasi’. Film besutan Tengok Indonesia yang digawangi sinaes muda Johanes dan kawan-kawan belianya itu bercerita tentang derita warga Kampung Akuarium akibat penggusuran yang mereka sebut tidak berhati nurani.

Sebelum film diputar, untaian doa ‘mengerikan’ itu tadi yang bergema. Doa yang dipimpin ustadz Suleman, seorang tukang jahit yang kehilangan rumah dan mata pencariannya.

“Saya tahu, doa ini doa yang tidak pantas. Doa ini tidak akan dibacakan para ulama atau kyai. Tapi, karena saya bukan ustadz, ulama apalagi kyai, maka saya bacakan doa ini. Saya menyebutnya sebagai doa pahit. Sebab, kepada siapa lagi kami harus mengadu? Kami sudah bicara dengan banyak pihak, termasuk kepada partai yang paling besar. Tapi semuanya membisu. Maka biarkan kami mengadu kepada Allah Yang Maha Kuasa, Allah Yang Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan doa-doa. Semoga Allah menghukum penguasa zalim yang menggusur kampung dan sumber penghasilan kami. Semoga Allah menghukum penguasa kejam tak berhati nurani dengan hukuman yang seberat-beratnya. Aamiin,” ujar Suleman dalam pengantar doanya.

Maka, jadilah suasana malam itu begitu mencekam. Hanya ada doa yang diaminkan warga dengan gemuruh. Sepertinya dengan doa itu, warga berusaha menggedor pintu langit, agar lebih leluasa menyapa sang penguasah semesta alam raya, Allah Subhanallahu wa Ta’ala.

Doa kian terasa khusyu’ karena disampaikan dengan sepenuh jiwa dari seluruh warga. Doa yang diiringi dengan derai air mata dan sesenggukan isak tangis yang saling bersahutan.

Puncak kejahatan

Malam itu juga hadir Ratna Sarumpaet. Perempuan pekerja seni yang juga dikenal sebagai aktivis ini sudah berpekan-pekan bergabung dengan warga Kampung Akuarium. Mengenakan setelan merah darah, Ratna menyatakan, tiap kali menginjakkan kakinya di Kampung Akuarium, dia merasa sedang menapaki bekas-bekas puncak kejahatan.

“Betapa tidak, ada Gubernur yang menggusur rakyatnya. Gubenur yang mengejek, menghina, dan terus-menerus mengintimidasi rakyatnya. Ini adalah kezaliman, puncak kejahatan. Kita tidak butuh gubernur yang menyatakan rakyatnya adalah sampah. Lewat film dokumenter ini, kita ingin menagih janji Presiden Jokowi saat kampanye di sini, bahwa tidak akan ada penggusuran dan penistaan terhadap warga Kampung Akuarium, warga Luar Batang, Tanah Merah, dan perkampungan lain yang menjadi korban,” papar Ratna dengan lengkingan khasnya.

Film berdurasi sekitar 40 menit itu memaparkan betapa menderitanya warga yang menjadi korban gusuran. Gambar-gambar diambil dengan angel yang pas. Ada puing-puing, tumpukan barang-barang seadanya yang berhasil diselamatkan dari lokasi reruntuhan.

Ada anak-anak yang kehilangan keceriaan. Juga ada deretan bangunan megah yang tak ber-IMB (izin mendirikan bangunan) nun di pulau-pulau hasil reklamasi.

Mereka, warga Kampung Akuarium, yang telah tinggal lebih dari 30 tahun, terpaksa kehilangan rumah tinggal dan pekerjaan. Ironisnya lagi, tidak ada serupiah pun uang pengganti. Bahkan, tidak ada dialog dan musyarawah sebelumnya. Sama sekali! Yang ada hanya Surat Peringatan (SP) satu, dua, dan… bongkar!

“Waktu penggusuran terjadi, saya tenang-tenang saja. Soalnya, pak lurah dan pak camat mengatakan, yang digusur cuma warga bantaran kali. Ternyata, semua warga di sini digusur. Saya benar-benar kaget, karena sama sekali tidak sempat mengeluarkan barang-barang,” ujar seorang warga di film itu.

Film dibuka dengan papara rencana revitalisasi versi Pemda DKI Jakarta berwujud proyek ambisius membangun Giant Sea Wall. Tampilan animasi proyek itu menggambarkan kelak Jakarta akan menjadi kota canggih dan modern yang mampu membetot minat investor untuk membenamkan dananya. Tapi, tidak ada secuil pun tayangan adegan bahkan dialog tentang rencana penggusuran.

Selanjutnya, layar tancap berwarna putih ukuran sekitar 3×8 m dengan dua tiang bambu di kanan kirinya itu menampilkan sepasang nelayan, suami istri yang sudah mulai uzur. Mereka berada di atas perahu, dengan ikan hasil tangkapan yang hanya beberapa ekor. Itu pun ukurannya sama sekali tidak bisa disebut besar.

“Dia bilang, sudah tidak ada ikannya di sini. Kan, dia yang bikin ikannya jadi ga ada. Dulu, sebelum reklamasi, saya bisa dapat ikan banyak. Tidak perlu melaut jauh-jauh. Lagian, ngapain juga jauh-jauh, olok-olokin bensin aja,” kata si istri.

Sekadar catatan saja, ‘dia’ yang dimaksud adalah gubernur. ‘Dia’ ini pula yang muncul dalam doa yang pahit di awal tulisan ini dengan ‘nya’ pada kalimat “Ya Allah, matikanlah hatinya, matikanlah akalnya, matikanlah matanya, matikanlah telinganya, matikanlah tangannya, matikanlah kakinya, dan matikanlah badannya.” Ya, dia dan nya itu semua terpulang kepada sang gubernur. Sedangkan olok adalah bahasa Betawi yang maknanya boros.

Episode penderitaan baru

Kendati banyak kelemahan di sana-sini, film karya para pemula ini lumayan berhasil menggambarkan derita pada warga korban gusuran. Mereka bukan saja kehilangan rumah tinggal, tetapi juga pekerjaan.

Sebagian dari mereka memang direlokasi ke rumah susun alias rusun. Tapi, itu justru membuka episode penderitaan baru. Warga harus membayar sewa sebesar Rp300.000/bulan untuk tiap unit berukuran 6×4. Status mereka adalah para penyewa, yang setiap saat bisa dan sah saja terusir.

Padahal, sebelumnya, ketika di Kampung Akuarium, rumah mereka rata-rata di atas 60m2. Bahkan ada yang punya rumah 150m2 dengan tiga kamar tidur, dua kamar mandi, ruang tamu yang lapang, dan masih ada teras untuk bermain anak-anak.

Buat sebagian kita, Rp300.000 mungkin angka yang tidak berarti. Namun bagi warga eks gusuran, jumlah itu terasa amat besar. Pasalnya, mereka juga harus membayar listrik sekitar Rp300.000, membeli air minum dan keperluan mandi cuci kakus (MCK), dan berbagai kebutuhan mendasar lainnya.

Tragisnya, sebagian besar penghuni justru tidak lagi bekerja dan tak punya penghasilan. Kalau pun kembali bekerja di lokasi semula, penghuni harus kembali merogoh kocek untuk biaya transportasi yang sama sekali tidak murah.

Beberapa penghuni mencoba meneruskan usaha dagang kecil-kecilan. Tapi karena pasarnya terbatas dan daya beli yang nyaris nol, maka hasilnya jauh dari memadai.

“Di Akuarium, saya dagang air galon dan berbagai kebutuhan sehari-hari. Omsetnya sekitar Rp20 juta/bulan. Saya juga punya kontrakan sebanyak 48 pintu. Sekarang semua itu hancur. Tidak ada sisa. Tidak ada penggantian sepeser pun. Di sini saya mencoba merintis dagang lagi. Tapi, omsetnya paling Rp20.000-Rp30.000/hari. Cukup apa uang segitu? Saya harus bayar sewa, beli air, bayar listrik, dan bermacam biaya lain. Kepala saya jadi sering sakit,” ujar seorang ibu sambil menggotong air mineral kemasan galon.

Di usianya yang 52 tahun, dia harus termehek-mehek, nafasnya tersengal-sengal, naik turun tangga mengantarkan air galon dari pintu ke pintu pelanggannya.

Janji tinggal janji

Film juga menayangkan Calon Gubernur DKI Joko Widodo yang disambut sangat meriah oleh warga saat berkunjung untuk berkampanye. Dengan baju kotak-kotak merah hitam yang jadi pakaian kebesarannya, Jokowi menebar janji. Pula ada adegan dia memegang selembar kertas berisi kontrak politik yang telah disiapkan warga untuk dia tandatangani.

Salah satu poin dari kontrak politik itu, bahwa Jokowi, kalau menjadi Gubernur, tidak akan menggusur warga Kampung Akuarium. Jokowi akan menata, bukan menggusur. Bahkan ada kutipan pernyataan bahwa dia pernah jadi korban gusuran. Jadi dia bisa merasakan langsung sakitnya digusur.

“Nanti, kalau Jokowi jadi Gubernur, tidak akan ada penggusuran. Warga yang menempati tanah negara lebih dari 20 tahun, akan saya bantu mengurus sertifikatnya,” ujar Jokowi yang disambut tempik sorak warga, di tayangan film itu…

Di kegelapan malam, ada lelaki tua berdiri gontai. Jenggot panjangnya telah memutih. Begitu juga dengan kumisnya yang sama sekali tidak rapi. Giginya sudah ompong di sana-sini. Dadanya kempis, memperlihatkan tulang-tulang rusuk yang berbaris menonjol. Dengan celana pendek cokelat kusam sedikit di bawah lutut, pak Dul, begitu dia disapa, berkata;

”Kami ini manusia. Warga Kampung Akuarium itu manusia. Jadi, kalau pun kami digusur, sediakanlah tempat pengganti yang layak. Sampah saja disediakan tempatnya, di Bantar Gebang, kok,” tukas pak Dul yang berdiri di atas puing-puing, entah bekas rumah siapa.

Membangun tanpa tangisan

Bagaimana seharusnya menata perkampungan kumuh? Haruskah dengan menggusur penghuninya? Haruskah mereka dienyahkan dengan tanpa sepeser pun uang pengganti? Haruskah penggusuran dilakukan, bahkan tanpa musyawarah dan dialog? Haruskah penggusuran segera dilakukan, dan menafikan permintaan warga agar menunda, minimal sampai anak-anak selesai ujian sekolah dan usai lebaran?

“Sebenarnya bisa membangun tanpa tangisan. Di sini ada lahan empat hektar. Setengah hektar dibangun rusun, untuk warga tinggal secara gratis. Saya sudah hitung, paling banyak biayanya hanya Rp200 miliar. Angka ini sudah saya mahal-mahalkan. Setengah hektar untuk taman dan area bermain anak-anak. Tiga hektar sisanya dilelang ke swasta. Kalau dijual dengan harga Rp25 juta/m saja, maka Pemda dapat duit Rp750 miliar. Pemda masih untung besar. Jadi, banyak cara membangun tanpa menggusur,” papar Rizal Ramli.

Ya, malam itu, mantan Menko Maritim dan Sumber Daya yang barus saja dicopot tersebut memang hadir. Berkemeja biru dan celana warna gelap, dia memenuhi undangan warga Kampung Akuraium. Warga merasa pencopotan Rizal Ramli karena lelaki itu membela mereka. Rizal Ramli menghentikan reklamasi Pulau G secara permanen dan tiga pulau lain sementara.

Dia juga memerintahkan Tim Komite Bersama beranggotakan unsur Kemenko Maritim dan SD, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Pemda Provinsi DKI untuk mengkaji perizinan reklamasi 13 pulau lain.

Banyak pihak, termasuk warga Luar Batang, Kampung Akuarium, Tanah Merah, Dadap, dan lainnya yang yakin, Rizal Ramli terpental karena membela nelayan miskin. Karenanya tidak mengherankan, ketika pria yang sudah dikenal kritis sejak mahasiswa itu menginjakkan kakinya di kawasan tersebut, ratusan warga segera merangsek. Mereka berebut menyalami. Warga juga meneriakkan yel-yel, “Hidup Rizal Ramli untuk DKI-1.”

Setelah didepak dari kabinet, Rizal Ramli justru kebanjiran simpati dan empati. Tamunya terus saja berdatangan. Mereka berkelompok, bergelombang tidak putus-putusnya. Ada di kantor, juga di rumah tinggal. Ada nelayan, mahasiswa, aktivis, dan juga kawan-kawan lamanya. Banyak dari mereka sama sekali tidak membuat janji sebelumnya.

Bagaikan koor, mereka juga mendesak agar RR, begitu dia biasa disapa, maju bertarung memperebutkan kursi DKI-1. Orang-orang ini yakin, gubernur yang sekarang bukan saja kejam dan arogan, tapi juga sangat kuat. Itulah sebabnya dibutuhkan lawan yang seimbang, yang mampu mengalahkannya. Dan, mereka melihat hanya RR lah sosok itu.

Bagaimana dengan Rizal Ramli sendiri? Sejauh ini dia menyatakan belum terpikir untuk maju. Dia masih ingin menjalani hobi membaca buku dan menikmati lukisan yang nyaris tak disentuhya selama 11 bulan menjadi Menko.

Kendati bisa merasakan penderitaan warga yang terzalimi, dia tidak terpancing menjadikan berbagai empati dan dukungan itu untuk kepentingan politiknya. Bahkan, malam itu, RR sama sekali tidak berkampanye. Dia tidak menyinggung-nyinggung soal kemungkinannya maju jadi gubernur.

Lalu, tentang doa pahit yang dilantunkan Suleman dan warga tadi?

“Saya tahu, doa tersebut karena bapak-bapak, ibu-ibu, dan saudara-saudara merasa terzalimi, sedih, dan putus asa. Tapi, kalau boleh saya sarankan, kita tidak usah berdoa seperti itu. Maaf, itu doa tentang keburukan. Kita serahkan saja kepada Allah Yang Maha Kuasa. Biarkan Dia yang menghukum para penguasa yang telah menzalimi rakyatnya. Allah tidak tidur,” katanya dengan mata yang tergenang… (*)

 

Oleh: Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

Artikel ini ditulis oleh: