Jakarta, Aktual.com — Pengamat ekonomi memperkirakan industri perbankan dan industri keuangan nonbank terancam bangkrut jika nilai tukar rupiah menembus level Rp16.000 per dolar AS.
“Bila Pemerintah tidak mampu meningkatkan kurs rupiah atau melemah hingga kisaran Rp16.000 per dolar AS maka industri perbankan dan industri keuangan nonbank memasuki masa sulit, bahkan terancam bangkrut,” kata Presiden Direktur Center of Banking Crisis (CBC) Achmad Deni Daruri kepada wartawan di Jakarta, ditulis (26/8).
Menurut Deni, berdasarkan simulasi “stress test” yang dilakukan CBC, hasilnya cukup mengejutkan.
Apabila nilai tukar rupiah ambrol hingga Rp15.000 per dolar AS dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia merosot hingga 20 persen, salah satu perusahaan asuransi bakal gulung tikar.
Meski begitu, Deni tidak merinci lebih lanjut nama perusahaan asuransi yang dimaksud.
Ia hanya menyebutkan, perusahaan asuransi merupakan milik negara atau BUMN.
Selanjutnya, apabila rupiah terus melemah sampai menembus Rp16.000 per dolar AS, hasil stress tes menyebut akan ada tiga bank kelas menengah terancam kolaps.
“Namun semuanya bisa diatasi jika Pemerintah bergerak cepat. Solusi jangka pendek adalah segera buat protokol krisis yang jelas dan tegas,” kata Deni.
Pemerintah lanjutnya, juga harus menunjukkan kewibawaan sehingga kepercayaan pelaku ekonomi terhadap semua kebijakan yang dilakukan pemerintah meningkat.
“Saat ini rupiah sangat rentan karena daya saing yang lemah hampir di semua sektor. Ini harus diperkuat. Bagaimana caranya? Saya kira banyak langkah yang bisa ditempuh,” ujarnya.
Deni juga menyayangkan banyak kebijakan Bank Indonesia yang tidak terarah dan tidak terukur dalam mengatasi melemahnya rupiah, sehingga menjadi semakin lemah.
“Saat ini pasar tidak ada arah dari BI. Tidak ada pernyataan resmi dari Gubernur Bank Indonesia, seperti halnya Bank Malaysia yang langsung memberikan arah yang jelas mengatasi pelemahan Ringgit,” ujarnya.
“Kita bergantung kepada BI untuk mendorong perekonomian. Kalau Fed melakukan ‘QE’ (quantitative easing) untuk mendorong ekonomi kerena memang Fed yang punya resources, termasuk cetak uang,” ujar Deni.
Artikel ini ditulis oleh: