Jakarta, Aktual.co — Sejak akhir pekan lalu, nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS kian terpuruk. Dolar makin berada diatas angin dengan nyaris menyentuh level Rp 13.000. Mengutip data perdagangan Reuters, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kala penutupan pasar akhir pekan lalu berada di posisi Rp 12.955/US$. Menguat dibandingkan saat pembukaan pasar yaitu Rp 12.995/US$. Lalu apa tanggapan para petinggi negeri terkait kondisi rupiah yang makin rontok ini?
Dalam hal ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berharap kondisi tersebut hanya sementara. “Perkembangan kurs, tadi kita mendapatkan laporan dari Gubernur BI, dan kita semua berharap agar itu bersifat sementara. Ini dipicu penguatan dolar AS pada semua mata uang dunia. Dan dilihat nanti seperti apa,” jelas Jokowi di Press Room, Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (2/3/2015).
Pemerintah, lanjut Jokowi, ingin rupiah bergerak pada tingkat yang aman. Secara makro, pemerintah yang dipimpinnya sudah melakukan sejumlah perbaikan mendasar. “Misalnya ruang fiskal, lihat sekarang lebih longgar dan kelihatan. Kemudian inflasi juga dilihat. Di Januari deflasi, Februari juga deflasi lagi. Ini sangat bagus sekali. Ini fundamental yang terus akan kita gerakkan agar itu tercapai,’ tutur Jokowi.
Jokowi menegaskan, tekanan yang terjadi pada rupiah lebih disebabkan oleh imbas ekonomi internasional. Perbaikan ekonomi di Amerika Serikat (AS), membuat dana asing kembali ke negeri Paman Sam itu, dan menekan rupiah. “Secara umum saya sampaikan, dengan fundamental ekonomi yang saya sampaikan tadi, saya kira kita meyakini bisa lebih baik,” tegas Jokowi.
Pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini disebut Jokowi masih aman. Masih sesuai dengan asumsi makro pada APBN Perubahan 2015. “Kita pada posisi yang relatif aman,” ucap Jokowi.
Sementara itu, Menko Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan, pelemahan rupiah atau penguatan dolar saat ini tidak perlu dikhawatirkan. Menurutnya, pelemahan rupiah saat ini masih dalam batas normal. “Tidak ada masalah. Jangan Anda berpikir Rp 13.000 itu terlalu khawatir, tahun 1999 itu dari Rp 2.400 ke Rp 13.000. Jadi Rp 13.000 tidak jadi masalah,” ucapnya di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (2/3/2015).
Bahkan, lanjut Sofyan, rupiah yang cenderung melemah bisa menjadi ‘berkah’ tersendiri yaitu bisa mendorong kinerja ekspor. Selain itu, pelemahan mata uang juga dialami oleh negara-negara lain akibat penguatan dolar AS. “Kalau terhadap euro dan lain-lain kita menguat kecuali terhadap dolar. Tahun lalu Rp 11.900, jadi melemah beberapa persen saja, itu normal dibanding mata uang lain. Makanya kita perbaiki domestik kita sehingga memperbaiki rupiah, perbaiki logistik, fiskal, inflasi. Alhamdulillah kan 2 bulan terakhir ternyata deflasi,” tandasnya.
Hal senada diungkapkan oleh Gubernur BI, Agus Martowardojo. Ia menilai fluktuasi rupiah adalah hal yang wajar. Dalam rezim devisa mengambang, perubahan nilai mata uang adalah hal yang tidak terhindarkan. Dia menambahkan, pemerintah dan BI sudah memperkirakan bahwa rupiah akan bergerak (menguat atau melemah) sekitar 3-5% dari asumsi dalam APBN-Perubahan 2015 yang sebesar Rp 12.500/US$.
“Persetujuan pemerintah dan DPR, nilai tukar ada di Rp 12.500. Itu adalah rata-rata selama 1 tahun. Kondisinya di atas Rp 12.500 atau di bawah itu, ada penguatan atau pelemahan 3-5%,” jelas Agus di Istana Negara, Jakarta, Senin (2/3).
Faktor utama pelemahan rupiah, Menurut Agus, adalah penguatan dolar AS terhadap berbagai mata uang dunia. Pasalnya, perekonomian Negeri Paman Sam itu terus membaik. “Secara umum, kita waspada AS yang menguat. Tapi Indonesia yang bisa lakukan pengendalian subsidi BBM dengan baik, pengendalian inflasi berjalan dengan baik, kita harapkan APBN-P bisa direalisasi dengan baik, sehingga buat ekonomi baik,” paparnya.
“Kita selalu ada di pasar, kita jaga volatilitas. Sehingga tidak perlu dikhawatirkan,” kata Agus dengan kalimat bersayap ketika ditanya apakah BI akan melakukan intervensi.
Artikel ini ditulis oleh:

















